Jakarta (ANTARA News) - Wajah letih terlihat jelas di wajah Dabitu Ternes (52) saat menyaksikan dialog antara mahasiswa peserta Pelayaran Kebangsaan (PK) VII dengan warga eks pengungsi Timor Timur (Timtim) di Kamp Pengungsian Haliwen, Kota Atambua, Belu, Nusa Tenggara Timur pada Senin (18/6).
Dirinya lebih memilih berdiri di luar tenda berwarna biru yang sengaja didirikan di depan bangunan pertemuan kelurahan.
Sesekali asap rokok kreteknya terbang membelah teriknya panas matahari bercampur debu jalanan yang dibawa kendaraan melintasi jalan di depan lokasi dialog.
Namun dari hati kecilnya memancar sejumput harapan dan kebahagiaan akan masih adanya perhatian dari bangsa Indonesia atas nasib mereka yang sudah sembilan tahun harus tinggal di kamp pengungsian pasca referendum di tempat kelahirannya.
Dirinya lebih memilih menjadi warga Indonesia ketimbang tinggal di tempat kelahirannya yang saat ini sudah menjadi Negara Timor Leste.
Dabitu Ternes merupakan gambaran warga eks pengungsi asal Kabupaten Air Merah, Provinsi Timtim (saat ini Timor Leste) yang saat ini tinggal di kamp pengungsian bersama ratusan ribu saudara-saudaranya yang lain.
"Saya akan mati untuk merah putih, bahkan kalau perlu siap berjuang untuk merebut kembali Timtim menjadi bagian Indonesia kembali," katanya dengan logat khas bumi Timor.
Nasib dirinya saat ini memang menggetirkan karena harus hidup di bangunan yang ala kadarnya bersama rekan-rekannya yang lain mengingat sampai sekarang pemerintah pusat belum memberikan perhatian lebih atas nasibnya itu.
Bahkan untuk makanpun, mereka tidak memiliki lahan untuk bertani yang memaksa mereka bercocok tanam di atas lahan milik warga setempat dengan sistem bagi hasil. Pendapatan dari bertani itu bukan untuk dijual melainkan untuk kebutuhan sehari-hari seperti jagung dan ubi.
"Dalam setahun paling-paling saya dapat seratus kilogram ubi atau jagung, itupun harus dibagi dua dengan pemilik lahan dan tidak dijual melainkan untuk makan sehari-hari," ujarnya lirih.
Ia mengatakan bagi eks pengungsi Timtim yang tidak memiliki mata pencaharian tetap saat ini, terbilang harus berjuang untuk mempertahankan hidup mengingat bantuan pemerintah yang pernah diberikan harus terhenti pada 2003 lalu.
"Bagi mereka yang sebelumnya bekerja di PNS masih lumayan hidupnya karena mereka tetap bekerja, sedangkan yang tidak memiliki pekerjaan tetap terpaksa harus bekerja apa saja demi mempertahankan hidup," katanya.
Hal itu dibenarkan oleh Fransisco Martijs (54), yang tinggal di kamp pengungsian Haliwen, bahwa pemerintah sejak 2003 telah menghentikan bantuan untuk warga eks Timtim yang tinggal di kamp pengungsian.
"Pada 2003, kami sempat menerima bantuan yang diberikan empat tahap selama setahun dan nilainya setiap kepala keluarga (KK) lebih dari Rp1 juta. Uang itu untuk lauk pauk, alat dapur, dan beras," katanya.
Saat ini, warga eks pengungsi Timtim menunggu dana bantuan yang diinformasikan akan diberikan kembali kepada warga melalui program bantuan perumahan dan dana pemberdayaan ekonomi.
"Paling utama adalah pembagian dana pemberdayaan ekonomi, paling tidak dapat dimanfaatkan untuk usaha. Paling tidak bisa untuk berjualan atau membuka usaha lainnya," katanya.
Ia menyatakan jika saat ini tidak ada pekerjaan yang tetap memang memusingkan, terlebih lagi bagi mereka yang memiliki anak yang sudah memasuki Sekolah Menengah Atas (SMA).
"Sedangkan untuk mereka yang memiliki anak sekolah di tingkat SD dan SMP terbilang masih dapat sedikit santai, mengingat biaya sekolahnya gratis," ungkapnya.
Kehidupan mereka memang terbilang menggetirkan karena harus tinggal di satu rumah yang dihuni lebih dari tiga kepala keluarga (KK), hal itu tidak seimbang dengan prinsip hidupnya untuk bangsa Indonesia dan mereka rela meninggalkan harta kekayaannya demi NKRI.
Lokasi tempat tinggal mereka terbilang sangat tandus dengan hanya satu sumber air dari sebuah sungai di sekitar lokasi, bahkan warga hanya mengandalkan dari air tadah hujan terutama untuk lahan pertaniannya.
"Ada juga warga yang terpaksa harus membeli tanah seharga Rp1 juta untuk membangun rumahnya, karena tidak memiliki uang banyak hingga warga patungan. Maka tidak heran ada satu rumah yang diisi sampai tiga KK," kata Maria Martina (20).
Data Binsos/Sekretariat Satkorlak PBP NTT, menyebutkan saat ini warga eks pengungsi Timtim yang berada di NTT tersebar 16 kota/kabupaten sebanyak 104.436 jiwa yang terdiri dari laki-laki 37.121 jiwa dan perempuan 38.982 jiwa.
Kabupaten/kota di NTT yang terbanyak dengan pengungsi eks Timtim, seperti, Belu sebanyak 70.453 jiwa, Timor Tengah Selatan (TTS) 2.812 jiwa, Ngada 1.577 jiwa, dan Sikka 1.755 jiwa.
Harus Dibangun
Kondisi yang menggetirkan di kalangan eks pengungsi Timtim telah membuka mata peserta PK VII yang diikuti sebanyak 159 mahasiswa yang berasal dari sejumlah perguruan tinggi negeri (PTN)/perguruan tinggi swasta (PTS).
Di Tanah Air masih banyak saudara-saudaranya yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Padahal mereka memiliki jiwa nasionalisme lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat yang tinggal di daerah yang lebih maju dan rela harus tinggal di rumah sempit hanya demi menolak untuk adanya kemerdekaan di tanah kelahirannya Timtim.
"Meski kunjungan hanya satu hari di kamp pengungsian, tapi sudah membuka mata saya bahwa nasionalisme sesungguhnya ada di kamp pengungsian," kata perwakilan dari Universitas PGRI Adi Buana Surabaya, Abdul Kadir.
Ia menyatakan pemerintah harus segera memberikan perhatian lebih kepada warga eks pengungsi Timtim karena akan menunjukkan kepada warga yang tinggal di Timor Leste, bahwa mereka juga bisa hidup layak di Indonesia.
Menurut dia, paling utama untuk warga eks pengungsi Timtim saat ini, adalah, membangun rumah dan membuka lapangan pekerjaan agar mereka dapat hidup layak seperti saudara-saudaranya di tanah air.
"Mereka harus segera diberi kehidupan layak dengan membuka lapangan pekerjaan dan perumahan," ujarnya.
Hal senada dikatakan oleh Fiena Rifanti Arifin, perwakilan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, yang meminta adanya perhatian dari pemerintah pusat atas nasib warga eks pengungsi Timtim.
"Pemerintah patut memberikan perhatian atas nasib warga eks pengungsi Timtim yang saat ini hidup sangat menggetirkan," ujarnya.
Oleh karena itu, melalui PK VII juga dihasilkan rekomendasi kepada pemerintah yang salah satu butirnya meminta adanya pembangunan infrastruktur di tapal batas.
"Rekomendasi tersebut merupakan bagian dari hasil PK VII yang melakukan kunjungan ke kamp pengungsian eks Timtim di Silawen dan Haliwen, Atambua," kata Koordinator PK VII, Abdul Muin Angkat.(*)
Oleh Oleh Riza Fahriza
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007