Yogyakarta (ANTARA News) - Di balik keberhasilan Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri menangkap tersangka teroris Abu Dujana, muncul tudingan yang `mengganggu` kesuksesan itu. Beberapa kalangan menuding polisi menyalahi prosedur hukum dalam menangkap tersangka yang juga punya nama Ainul Bahri dan Yusron Mahmudi tersebut. Bahkan ada pihak yang menilai polisi melanggar hak asasi manusia (HAM) saat meringkus pria berusia 38 tahun ini. Abdul Rahim kuasa hukum keluarga Abu Dujana menegaskan pihaknya segera mengajukan gugatan praperadilan terhadap Polri terkait dengan penangkapan Abu Dujana yang dinilai tidak prosedural. "Tiba di Jakarta nanti, kami, Tim Pembela Muslim (TPM) segera melakukan koordinasi untuk merumuskan gugatan praperadilan terhadap Polri atas penangkapan Ainul Bahri," katanya di penginapan Srikandi, Jalan Mangkubumi Yogyakarta. Namun, perkembangan selanjutnya, rencana mengajukan gugatan praperadilan terhadap Polri terkait dengan penangkapan terhadap Abu Dujana yang semula akan didaftarkan pada hari Rabu (20/6), ditunda Jumat (22/6). "Pendaftaran ditunda karena kami harus memperbaiki materi gugatan praperadilan," kata Qadhar Faisal Ruskanda kuasa hukum keluarga Abu Dujana. Ia mengatakan, perbaikan materi itu di antaranya mengenai hasil observasi saksi dalam penangkapan Abu Dujana di Banyumas, Jawa Tengah, Sabtu 9 Juni lalu. Qadhar membantah bahwa perbaikan materi praperadilan dilakukan setelah Polri memfasilitasi pertemuan isteri, anak dan saudara Abu Dujana untuk bertemu tersangka teroris ini di Markas Komando Utama Brimob Polda Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jalan Mojo nomor 1 Baciro Yogyakarta, Selasa (19/6) malam. Kata dia, pihaknya yakin ada pelanggaran HAM dalam penangkapan, setelah mendengar keterangan dari salah satu anak Abu Dujana yang melihat ayahnya ditembak polisi. "Menangkap orang kok di depan anak. Ia (Abu Dujana) dalam posisi tidak melawan, tidak lari, posisi jongkok dan tangan berada di atas kepala," katanya. Pihaknya juga membawa masalah penangkapan ini ke Komisi Perlindungan Anak (KPA), karena polisi menembak Abu Dujana di depan anaknya. Terkait dengan penangkapan terhadap Abu Dujana, Komisi III DPR RI menyoroti penembakan yang dilakukan dari jarak dekat oleh anggota Densus 88 Antiteror Mabes Polri saat menangkap suami Sri Murdiyati (35) ini. Komisi III DPR RI mendesak Komnas HAM menyelidiki apakah ada pelanggaran HAM atau tidak dalam penangkapan terhadap tersangka itu. Bahkan Komisi III DPR RI juga mendesak Komnas Anak untuk memberi perhatian khusus dalam merehabilitasi efek psikologis anak-anak Abu Dujana akibat kejadian tersebut. Minta Dimaklumi Sebelumnya, Kapolri Jenderal Polisi Sutanto meminta agar semua pihak memaklumi tindakan aparat kepolisian dalam menangkap tersangka teroris Abu Dujana yang sudah dicari sejak lama dan memiliki kecepatan untuk menghindari polisi. "Mohon dimaklumi, dan tolong jangan dikembangkan yang gitu-gitu," kata Kapolri usai sidang kabinet di Kantor Presiden. Penangkapan terhadap Abu Dujana yang dianggap oleh beberapa pihak melanggar HAM, menurut Kapolri karena yang bersangkutan adalah teroris yang sudah bertahun-tahun dikejar pihak kepolisian. "Kita sudah bertahun-tahun menyidik dan tidak mudah untuk menyidik mereka, dan jaringannya mempunyai kecepatan untuk menghindar. Jadi mohon dimaklumi," katanya. Sementara itu, Kepala Bareskrim Komjen Polisi Bambang Hendarso Danuri mengatakan Polri siap bertanggung jawab secara hukum dalam penangkapan tersangka berbagai teror, Abu Dujana dan kawan-kawannya. "Kami siap bertanggung jawab secara yuridis formal," kata dia dalam jumpa pers di Mabes Polri, beberapa waktu lalu. Ia menegaskan Polri tidak pernah melanggar HAM dalam penangkapan tersebut, dan yang dilakukan polisi telah sesuai prosedur dan undang-undang yang ada. "Tidak ada rekayasa. Yang kita tunjukkan adalah fakta yuridis," katanya. Bahkan, menurut Bambang, Polri siap menghadapi praperadilan dari pihak-pihak yang mempermasalahkan penangkapan itu. Polri tidak mau berpolemik atau menanggapi pihak-pihak yang mempermasalahkan penangkapan terhadap Abu Dujana. Karena itu, menurut dia, Polri meminta masalah ini dibawa ke pengadilan dengan mengajukan praperadilan. Selalu Dipertanyakan Dari Yogyakarta, seorang praktisi hukum mengatakan prosedur penangkapan terhadap tersangka teroris akan selalu dipertanyakan oleh berbagai kalangan, karena aparat kepolisian sering menyalahi ketentuan hukum dalam penangkapan tersebut. "Apapun kejahatannya, penangkapan terhadap seorang tersangka yang saat itu sedang tidak melakukan kejahatan, harus dengan prosedur sesuai Hukum Acara Pidana, seperti petugas harus dibekali surat perintah penangkapan, dan sebagainya," kata praktisi hukum Budi Hartono SH. Pembela Umum di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta ini mengatakan, petugas yang menangkap seorang tersangka yang saat itu sedang tidak melakukan kejahatan atau tidak `tertangkap tangan`, harus dibekali surat perintah penangkapan dari atasannya. Karena itu, menurut dia, dalam menangkap seorang tersangka yang sedang tidak melakukan kejahatan termasuk tersangka teroris yang sedang tidak melakukan pengeboman misalnya, polisi harus menaati prosedur sesuai Hukum Acara Pidana. Kata Budi, lain dengan penangkapan terhadap seseorang yang sedang melakukan kejahatan atau `tertangkap tangan`, misalnya pencopet, pencuri atau perampok, polisi langsung bisa bertindak meski tanpa dibekali surat perintah penangkapan. "Karena itu, jangan sampai dalam melaksanakan tugasnya polisi sebagai aparat penegak hukum menyalahi prosedur hukum. Kesalahan seperti ini bisa merusak citra Polri," katanya. Ia mengatakan terkait dengan penangkapan terhadap tersangka teroris Abu Dujana, jika polisi taat pada prosedur hukum seperti yang diatur dalam Hukum Acara Pidana, penangkapan tersebut tidak akan dipertanyakan dan tidak ada gugatan praperadilan terhadap Polri. (*)
Oleh Oleh Masduki Attamami
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007