"Menghadapi tahapan dan proses pemilu di tahun 2018 dan pelaksana pilkada 2018 yang aman dan damai tidak cukup hanya mengandalkan peran penyelenggara dan pengawas pemilu," kata anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Muhammad Afzal Mahfuz, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis.
Dia mengatakan, jauh dari itu, peran dan eksitensi parpol juga ikut menentukan serta tokoh adat, tokoh agama, dan tokoh masyarakat sangat dibutuhkan partisipasi aktifnya.
Menurut dia, prognosis kerawanan Pemilu 2019 dapat ditelusuri berdasarkan identifikasi Indonesian Parliamentary Center (IPC) pada Pemilu 2014 yaitu diidentifikasi 14 kerawanan pemilu antara lain ketidakpuasan terhadap daftar pemilih karena banyak masyarakat pemilih tidak terdaftar, kampanye yang menonjolkan kekuatan, surat undangan pemilih tidak sampai kepada pemilih terdaftar.
"Selain itu, jumlah logistik yang kurang, perbedaan persepsi tentang surat suara sah, pemungutan dan perhitungan suara melebihi waktu yang ditentukan serta dugaan manipulasi tentang penggelebungan suara," ujarnya.
Dia menilai meskipun dari sisi prosedur elektoral, Indonesia sudah menjalankan pemilu yang relatif bersih dan adil, kerawanan dan kompleksitas pemilu 2019 perlu diwaspadai.
Menurut dia, dengan tren positif dari pengakuan lembaga di dalam dan luar negeri atas proses dan transparansi proses pemilihan di Indonesia perlu dipertahankan.
"Pada tahun 2018 dan 2019 boleh jadi tren positif tidak akan berubah, dengan syarat semua stakeholders memiliki visi demokrasi yang sama yaitu bertekad berkontestasi untuk demokrasi yang lebih baik dan memberi dampak bagi kesejahteraan rakyat," katanya.
Afzal mengatakan masyarakat harus menyadari bahwa proses berdemokrasi tidak berhenti pada pemilihan kepala daerah dan pemilu 2019. Namun menurut dia, demokrasi diuji sepanjang masa, tidak hanya lima tahunan periode berkuasa.
"Negara harus berperan aktif dan mempromosikan konsolidasi demokrasi yang jauh ke depan. Sebagai bangsa, kesejahteraan rakyat adalah titik perjuangan yang paling akhir," katanya.
Menurut dia, proses berdemokrasi yang dibiayai dengan triliunan rupiah seharusnya berdampak pada kesejahteraan banyak orang dan jangan sampai rakyat bertutur, biaya pilkada dibagi rata saja per-penduduk.
Dia menilai tiga gelombang pilkada, yakni 2015, 2017, dan 2018, diperkirakan menghabiskan sekitar Rp26 triliun, sementara itu pemilu 2019 diproyeksikan menghabiskan dana Rp16 triliun-Rp19 triliun.
Dia berharap agar berbagai perhelatan politik pada 2018 hingga 2019 tidak mengganggu kesatuan dan kebersamaan bangsa.
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2017