Banda Aceh (ANTARA News) - Sembilan dari 11 jaringan Hidro-Meteorologi yang dipasang untuk memantau aktifitas pengairan di Provinsi Aceh dilaporkan tidak berfungsi, sehingga intensitas banjir dan tanah longsor yang terjadi rata-rata 3-4 kali dalam satu bulan tahun 2006 sulit dipantau.
"Aceh harus membangun kembali stasiun-stasiun jaringan Hidro-Meteorologi yang pernah ada, guna memudahkan petugas memantau kondisi curah hujan di wilayah Aceh," kata Deputy Manager Komunikasi Flora Fauna Internasional (FFI) Aceh Programme, Tisna Nando, di Banda Aceh, Jumat.
Ia menambahkan, dari 11 stasiun pemantauan cuaca yang dimiliki oleh pemerintah, kini tinggal dua stasiun lagi yang masih beroperasi dan itu jelas tidak mencukupi untuk melakukan pemantauan yang menyeluruh terhadap aktifitas daerah aliran sungai (DAS).
Hal itu diperkuat hasil penelitian yang dilakukan oleh Kevin Jeanes, Staff Ahli System Hidrologi FFI pada bulan Maret 2007 di lima kabupaten yang berada dalam Kawasan Hutan Ulu Masen, yaitu Kabupaten Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Aceh Pidie, dan Pidie Jaya.
Hasil penelitian tersebut menemukan kerusakan pada jaringan Hidro-Meteorologi di wilayah Kawasan Hutan Ulu Masen, dari 40 unit Stasiun Taksiran Sungai (River Gauging Stasiun) kini hanya tinggal tiga stasiun yang beroperasi, sedangkan dari 59 unit Stasiun Pemantauan Curah Hujan (Rainfall Stations) semuanya dalam keadaan tidak berfungsi.
Tisna juga menyebutkan bahwa fungsi jaringan stasiun pemantauan ini sebenarnya penting untuk mengetahui aktifitas-aktifitas sistem pengairan di bagian utara provinsi Aceh.
"Jika terjadi defisit atau kelebihan volume air akibat kekeringan atau curah hujan yang tinggi, stasiun pemantauan ini akan memberikan data yang sangat berguna untuk menentukan langkah antisipasi selanjutnya," tuturnya.
Stasiun pemantauan DAS juga diperlukan untuk mengetahui kerusakan tutupan hutan di sekitar wilayah DAS. Berdasarkan analisis peta citra landsat FFI, sekitar 46,4 persen DAS di Aceh mengalami kerusakan atau setara dengan luas Kawasan Hutan Ulu Masen, yaitu sekitar 714.724,38 hektare.
Dewa Gumay, Koordinator Informasi FFI Aceh Programme, menambahkan bahwa kerusakan DAS tersebut dipicu oleh penebangan liar yang marak terjadi di sekitar aliran sungai.
"Sekitar 20.796 ha per tahun atau setara dengan dua kali lapangan sepakbola perharinya hutan Aceh musnah akibat praktek illegal," tambah Dewa.
Ia berharap agar pihak pemerintah dan pihak-pihak yang berkompeten lainnya untuk dapat memberikan perhatian khusus pada tiga lokasi di hutan Aceh bagian utara, yakni Pidie, bagian atas Teunom, dan Sabee, Kabupaten Aceh Jaya.
Ketiganya adalah kawasan yang sangat bergantung pada keberadaan sistem hidrologi dan kepadatan hutan di dalamnya.
"Selain ancaman banjir dan kekeringan yang dapat terjadi sewaktu-waktu, tanpa adanya sistem monitor di kawasan tersebut sangat riskan jika terjadi defisit atau limpahan air dalam jumlah besar," tambah Dewa lagi.
Untuk itu, ia mengusulkan agar pemerintah dan pihak-pihak terkait lainnya untuk menambah 12 lokasi stasiun pemantauan DAS dan curah hujan yang baru, selain juga memanfaatkan kembali lokasi-lokasi stasiun yang pernah ada sebelumnya.
"Kedua belas lokasi baru itu adalah Kr. Agam, Kr. Inong, Kr. Rusi, Kr. Gasui, Kr. De, Kr. Cengkeh, Kr. Tilong, Kr. Tangse, Kr. Mangeung, Kr. Bangkeh, Kr. Meukeub, dan Kr. Leumieh," katanya. (*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007