Amani Saeed, mahasiswa kedokteran yang berusia 25 tahun, optimistis bahwa peringatan kemerdekaan akan menjadi momen untuk menyaksikan berakhirnya kerusuhan dan awal perdamaian, yang telah hilang selama bertahun-tahun.
"Kami merasa kami telah kehilangan tahun-tahun penting belakangan ini. Kami ingin memperbaiki ini dengan menyelesaiakan silang-pendapat melalui dialog dan tanpa kekerasan. Konflik telah menewaskan dan membuat keluarga kami kehilangan rumah. Konflik juga memaksa putra kami membayar harganya," kata wanita itu kepada Xinhua.
"Rakyat Libya sudah jemu dengan bahasa senjata dan menginginkan perdamaian pada 2018. Mereka ingin semua perang antara suku dan kota besar berakhir dan susunan masyarakat menjadi kuat lagi di Libya," kata Dalal Meftah, seorang pekerja sosial.
"Peringatan kemerdekaan kami adalah saat bersejarah yang harus diperingati oleh setiap orang dan dijadikan peluang untuk bersatu. Setiap orang takut, dan ini lah waktunya untuk membenarkan semuanya," wanita tersebut menjelaskan.
Pemerintah Libya Timur dan Barat menyampaikan harapan bahwa peringatan kemerdekaan akan menjadi kesempatan baik bagi perujukan dan toleransi di kalangan rakyat Libya.
Najah Hameed, yang memiliki hubungan dengan mendiang Raja Libya Idris selama hari-hari awal kemerdekaan Libya, mengutip pernyataan Raja tersebut bahwa "memelihara kemerdekaan labih berat dibandingkan dengan memperolehnya".
"Kita harus menyelesaikan keadaan dengan cepat. Perdamaian adalah satu-satunya cara untuk hidup berdampingan. Kita harus menolak budaya kekerasan dalam menyelesaikan perbedaan. Kita harus menyatukan gagasan dan upaya kita untuk menyelamatkan negeri kita. Untuk itu lah, nenek-moyang kita mengorbankan ribuan nyawa yang berharga untuk memelihara persatuan," kata wanita tersebut.
Mendiang Raja Idris As-Senussi, penguasa perdamaian negeri itu setelah kemerdekaan, memerintah Libya sampai mendiang orang kuat Libya Muammar Gaddafi memimpin kudeta terhadap dia.
"Jalan menuju perdamaian di negeri ini sangat panjang. Itu hanya bisa dicapai dengan menyelenggarakan konferensi umum nasional yang meliputi semua wakil faksi Libya," kata seorang insinyur Libya yang berusia 45 tahun, Munir Al-Harari.
"Ketika negara meraih kemerdekaan pada awal 1950-an, kondisi keharmonisan dan saling pengertian menyebar di antara warga kota besar Libya. Keharmonisan dilandasi oleh konsep suku. Kehidupan dipimpin oleh hubungan suku dengan cara yang memperlihatkan cinta setiap orang bagi peran sosial dalam membangun negara dan semua lembaganya, kendati kemiskinan tersebar luas," kata Al-Harai kepada Xinhua.
Amerika Serikat menengahi antar-pihak yang bertikai di Libya guna mengakhiri krisis politik, melalui satu rencana aksi yang mencakup perubahan kesepakatan politik Libya saat ini dan penyelenggaraan pemilihan presiden dan anggota parlemen tahun depan.
(Uu.C003)
Pewarta: Chaidar A
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2017