Tapi, kalau tidak ada motor, ya jalan bawa buku ..."

Bandarlampung (ANTARA News) - Gerakan Pustaka Bergerak terus bertumbuh untuk mendorong minat baca khususnya di kalangan anak-anak dan remaja, termasuk di Provinsi Lampung, untuk mengatasi minat baca masyarakat yang masih rendah hingga saat ini.

Belasan pegiat literasi simpul pustaka bergerak dengan sepeda pustaka, motor pustaka dan perahu maupun gerobak pustaka di Provinsi Lampung berkumpul bersama dengan para pencinta dan pembaca buku dari kalangan mahasiswa, akademisi, profesional, termasuk jurnalis dan warga umumnya.

Sugeng Hariyono, salah seorang pegiat pustaka bergerak Motor Pustaka di Lampung, dalam pertemuan di Kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan, di Bandarlampung, Sabtu (23/12), menyatakan saat ini minat baca masyarakat, termasuk di kalangan pelajar dan mahasiswa, memang masih rendah.

Atau, ditimpalinya, buku yang tidak tersedia dan kondisi perpustakaan yang kurang memadai bagi para pengunjung dan pembaca buku.

Oleh karena itu, menurut pria perantau dari Pulau Jawa ke Lampung Selatan untuk memperbaiki kehidupannya tersebut, untuk saat ini lebih baik bergerak dan tidak terbentur legalitas guna memperbaiki minat baca masyarakat dengan menyediakan taman bacaan, khususnya bagi generasi muda dan umumnya untuk masyarakat luas.

"Secara praktis, kita perlu taman baca atau pustaka bergerak bisa menjangkau para pembaca dari berbagai lokasi," katanya.

Ia pun berinisiatif memprakarsai pustaka motor dan bergerak dari desa ke desa lain di sejumlah tempat di Lampung.

Ternyata, ia menyaksikan respons masyarakat, terutama para pelajar dan remaja yang disambangi, cukup tinggi.

Mereka selalu menunggu kehadiran motor pustaka dan koleksi buku terbaru yang akan mereka pinjam atau baca beramai-ramai. Seringkali mereka harus berebutan mendapatkan buku yang dicari.

Sebagian besar buku koleksi motor pustaka, dikemukakannya, adalah hasil sumbangan berbagai pihak, termasuk dari para tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia asal Kabupaten Lampung Timur yang bersedia menyisihkan sebagian penghasilan mereka untuk membeli berbagai buku bacaan.

"Sebenarnya yang kami lakukan ini hanya seperti debu yang beterbangan saja. Karena itu, tanpa dukungan berbagai pihak akan sulit berkembang. Tapi, bila didukung, maka selanjutnya akan muncul simpul-simpul baru pegiat dan penggerak literasi di Lampung," ujar Sugeng.

Ia pun optimistis, dunia literasi umumnya dan minat baca di Lampung khususnya akan semakin membaik, sehingga akhirnya akan berdampak makin mencerdaskan masyarakat khususnya kalangan generasi muda di daerah ini.

Bocah pegiat literasi

Salah seorang yang terinspirasi gerakan motor pustaka yang dijalani Sugeng adalah Khoirul Alvin Romadoni. Bocah kelas dua Sekolah Dasar Negeri (SDN) 3 Negeri Agung, Kecamatan Gunung Pelindung, Kabupaten Lampung Timur, ikut menjadi penggeraknya.

Doni, panggilan akrabnya, menggunakan sepeda BMX membawa buku-buku agar bisa dibaca siapa saja yang dikunjunginya.

Menurut Warsito (36), ayah Doni, di rumah untuk membiasakan budaya membaca, maka memberlakukan waktu wajib baca bagi ketiga anaknya, termasuk Doni.

Buku-buku pun disiapkan di rumahnya walaupun dibeli dari tukang loak agar bisa mendapatkan buku-buku bekas dengan harga miring.

Selain buku pelajaran yang diperlukan anak-anaknya untuk mendukung pembelajaran di sekolah, disediakan pula buku-buku populer termasuk buku sastra dan komik.

Doni sendiri mengaku paling menyukai komik kisah kucing masa depan dari Jepang, Doraemon, selain buku pelajaran matematika dan ilmu pengetahuan alam (IPA).

Ia juga menyisihkan uang yang dimiliki untuk mencari dan membeli sendiri buku yang diperlukan.

Aksi itu bak bergayung sambut dengan kehadiran Nirwan Ahmad Arsuka, penulis dan budayawan yang pada 2012 sampai dengan 2014 pernah menjadi Direktur Freedom Institute. Ia kini lebih banyak bergulat dengan gerakan literasi sebagai penggagas Pustaka Bergerak di Indonesia.

Mantan editor Harian Kompas dari pada 2001 hingga 2006 itu membawa visi kebersamaan adalah kekuatan, kemudian menggencarkan adanya simpul-simpul pegiat literasi dari seluruh Indonesia, untuk mendekatkan buku berkualitas kepada pembaca di seluruh pelosok negeri ini.

Saat berbagi pengalaman dan diskusi Simpul Literasi Pustaka Bergerak di Lampung, Nirwan dan para pegiat literasi di Lampung dan beberapa daerah lain mengajak untuk hati tergerak, tangan bergerak agar melakukan hal kecil yang bermanfaat dengan modal niat dan semangat guna membenahi dunia literasi di negeri kita ini.

Salah satu tantangannya adalah sekarang membaca tak lagi sebatas dengan adanya buku secara fisik dan konvensional, melainkan menggunakan buku elektronik (e-book atau buku-el) dan perpustakaan elektronik (e-library atau pustaka-el).

Ahmad Yulden Erwin, sastrawan Lampung yang ikut menghadiri pertemuan simpul literasi yang dimotori oleh Pustaka Bergerak, Motor Pustaka, Perahu Pustaka dan sejumlah pegiat literasi di Lampung, mengaku telah membuatnya menjadi terharu.

Ia menuturkan, dalam satu sesi kesaksian Sugeng Hariyono (pegiat literasi dari Motor Pustaka) dan kawan-kawannya dari Kabupaten Lampung Selatan, Lampung Timur, Kota Bandarlampung, Tanggamus dan lainnya menceritakan bahwa mereka rela berkeliling kampung dengan motor membawa buku-buku hasil sumbangan dari para simpatisan dan TKI di Hong Kong atau Taiwan.

"Tak ada yang membayar mereka secara sukarela membawa buku untuk dibaca anak-anak dan para orang tua yang tak mampu mengakses buku untuk membacanya," ujar sastrawan yang membuka kelas pembelajaran sastra di media sosial secara gratis itu pula.

Kemudian, kata Erwin, ada juga pegiat literasi yang berjualan cendol sambil membawa buku untuk dibaca para pembelinya.

"Yang paling mengharukan dan menggugah semangat peserta adalah testimoni dari Adi, seorang tamatan SD dan berprofesi sebagai penjual ikan bakar. Andi diajak oleh Sugeng menjadi relawan pustaka motor dan berkeliling kampung untuk memberikan akses buku guna dibaca penduduk kampung.

"Saya ingin penduduk kampung jadi cerdas dengan membaca buku," kata Andi, seperti ditirukan Erwin.

Menurut pengakuan Sugeng, minat baca penduduk kampung terhadap buku sangat tinggi. Namun, sayangnya, akses terhadap buku sangat kurang.

"Kami sudah puas menitikkan air mata untuk mengantarkan buku-buku pustaka ini ke penduduk hingga pelosok-pelosok kampung. Banyak tantangan yang mesti kami hadapi. Tapi, kami terus bergerak," ujarnya pula.

AY Erwin pun mengaku hormat terhadap para pegiat literasi itu, seperti Sugeng, Raja, Andi, dan kawan-kawan relawan literasi Lampung.

"Kepada kalian, saya belajar arti sebenarnya dari kerelawanan sosial," ujarnya lagi.

Bahkan, Lusi, pelajar kelas V SD di Lampung telah mempunyai rumah baca sendiri di tempat tinggalnya, seperti Doni, pelajar kelas 2 SD yang berkeliling bersepeda membawa buku-buku untuk dibaca anak-anak sekitar kampungnya telah memiliki koleksi ratusan buku di rumahnya. Koleksi buku itu terus bertambah dari hasil membeli buku bekas dari pedagang loak maupun sumbangan dari pihak lain.

Gunawan Handoko, pensiunan pegawai negeri sipil (PNS) yang juga mendukung gerakan literasi di Lampung, menilai para pegiat literasi adalah "orang-orang gila" yang rela bekerja menumbuhkan minat baca tanpa imbalan apa pun.

Ia pun mengajak semua pihak, termasuk para pejabat dan politisi serta pengusaha untuk berbuat nyata mendukung gerakan literasi di Lampung ini.

"Siapa pun bisa membantu memberikan sumbangan buku untuk para pegiat literasi agar dapat dibaca banyak orang," katanya.

Menurut penggagas Pustaka Bergerak Nirwan Ahmad Arsuka, saat ini dukungan pemerintah dan para pihak untuk gerakan literasi dan menumbuhkan minat baca makin meningkat.

Pada 20 Mei 2017 PT Pos Indonesia memulai program kirim buku bebas biaya ke seluruh penjuru Tanah Air. Selanjutnya pengiriman buku bebas biaya tersebut akan berlaku setiap tanggal 17.

Pengiriman buku bebas biaya itu, menurut dia, hanya bisa dilakukan di Kantor Pos, sedangkan agen pos belum menyediakan layanan serupa.

Pengirim merupakan pegiat literasi dan donatur buku yang akan menyumbangkan buku kepada pengelola taman bacaan masyarakat di seluruh Indonesia. Berat kiriman hingga 10 kilogram untuk sekali pengiriman.

Program ini merupakan bentuk pelaksanaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Hadir untuk Negeri yang sudah dicanangkan beberapa tahun lalu.

BUMN Hadir untuk Negeri menempatkan setiap perusahaan BUMN memberikan kontribusi nyata dalam membantu masyarakat. Peran Pos Indonesia melalui program kirim buku bebas biaya diharapkan bisa menumbuhkan kecintaan masyarakat terhadap buku.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun sebelumnya pernah berjanji akan menggratiskan biaya pengiriman buku setiap bulan melalui PT Pos Indonesia.

Presiden Jokowi menyampaikan hal itu di depan para pegiat literasi saat bertatap muka di Istana Negara, Jakarta, bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional pada 2 Mei 2017, dan mulai diterapkan PT Pos Indonesia.

Presiden berharap melalui program penggratisan biaya pengiriman buku tersebut bisa memperlancar distribusi buku dari kota ke desa, khususnya ke daerah terpencil, sehingga keberadaan buku di penjuru Tanah Air diharapkan mampu meningkatkan minat baca anak-anak.

Nirwan Ahmad Arsuka menyebutkan, saat ini mencapai 70 hingga 90 ton berat buku yang dikirimkan oleh para donatur itu ke sedikitnya 850 simpul pegiat literasi dari seluruh provinsi di Indonesia. Paling banyak di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sebanyak 140 simpul, dan paling aktif Provinsi Lampung dengan sekitar 70 simpul pegiat literasi.

"Total sebanyak Rp5 miliar biaya ditanggung PT Pos Indonesia sejak Mei 2017 untuk menjalankan program pengiriman buku secara gratis itu. Masyarakat paling banyak menyumbang buku-buku lebih dari 70 persen," kata Nirwan pula.

Dia berharap kebijakan pengiriman buku secara gratis itu terus berlanjut. Namun selanjutnya anggarannya ditanggung dana anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), bukan hanya diurus PT Pos Indonesia.

"Bayangkan kalau semua desa ada simpul pustaka, sebanyak 80.000 desa, maka PT Pos tidak akan sanggup menanggung pembiayaannya. Karena itu, perlu dukungan dana lewat APBN, dan pihak lain di luar PT Pos bisa ikut serta di dalamnya," katanya.

Nirwan juga berharap kondisi itu akan mendorong lebih banyak lagi buku bermutu diterbitkan di Indonesia.

Apalagi, menurut dia, dengan dukungan dana desa minimal lima persen dialokasikan untuk membeli buku dan bisa prioritaskan pendidikan.

Bila semua desa bisa menjalankannya, dinilai dia, berarti sedikit-dikitnya ada 50 juta pasar perbukuan akan terbuka dan dunia literasi di Tanah Air menjadi makin sehat. Imbasnya, para penulis dan karyanya yang bermutu akan makin bermunculan.

"Para penulis dari desa atau kampung akan lahir. Penulis desa tapi memiliki perspektif kosmopolitan. Berada di desa tapi update terhadap informasi dan teknologi," ujarnya.

Ia pun berharap adanya peningkatan kapasitas relawan pegiat pustaka mandiri, terutama secara ekonomi sebagai kekuatan ekonomi di tempatnya masing-asing.

Nirwan menegaskan, program gerakan literasi bergerak didukung pemerintah ini dinilai merupakan program satu-satunya di dunia yang berjalan saat ini, sehingga bila berlanjut dan berhasil sisa menjadi contoh negara berkembang yang lain.

"Bila berkembang seperti itu, statistik UNESCO yang menyatakan minat baca di Indonesia rendah akan berubah, karena kenyataannya minat baca saat ini sampai ke pelosok desa semakin meningkat," ujar pegiat pustaka bergerak menaiki kuda, kelahiran Kampung Ulo, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan tersebut.

Nirwan menegaskan bahwa di Indonesia saat ini diperlukan perpustakaan yang bisa dengan mudah diakses banyak orang untuk mendapatkan buku dan membacanya. Karena itu, pustaka bergerak digagas dan digelutinya.

Pustaka Bergerak tidak berfungsi untuk mengumpulkan buku sebanyak-banyaknya, namun justru mengumpulkan pembaca sebanyak-banyaknya.

Pustaka Bergerak kini memiliki ratusan lini di berbagai daerah di Indonesia, termasuk di Provinsi Lampung, dengan menggunakan sarana angkut dan transportasi bervariasi, mulai sepeda motor pustaka, kuda pustaka, noken pustaka, gerobak pustaka, bemo pustaka, jamu pustaka, serabi pustaka, cendol pustaka, perahu pustaka, motor tahu pustaka, dan masih terus berkembang semakin banyak lainnya.

Dia optimistis semua simpul pustaka bergerak itu akan makin menggurita terus bertambah seiring dengan kian besar dan banyak kepedulian masyarakat mendukung gerakan pustaka bergerak.

Nirwan dalam sebuah wawancara dengan media juga menuturkan, merasa beruntung dipertemukan dengan orang-orang yang memiliki kepedulian dan tujuan yang sama untuk menyebarkan virus literasi seperti dirinya. Dia mencontohkan beberapa rekannya seperti Misbah Surbakti yang mempelopori Noken Pustaka di Papua Barat. Beberapa relawannya memanggul noken yang penuh buku.

Begitu pula dengan Muhammad Ridwan Alimuddin yang menakhodai Perahu Pustaka di Sulawesi Barat harus menyusuri lautan dan pesisir untuk menyebarkan virus literasi. Mereka menggerakkan literasi dengan berbagai moda pustaka bergerak dalam gerakan mandiri dengan kepedulian yang kuat.

"Tapi, kalau tidak ada motor, ya jalan bawa buku, yang penting bergerak dengan niat berbagi kepada masyarakat agar bisa membaca buku-buku yang berkualitas dan bermanfaat," katanya lagi.

Tumbuhkan literasi digital

Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization/UNESCO) telah mendeklarasikan setiap tanggal 8 September sebagai Hari Literasi Internasional (Hari Aksara Internasional) diproklamasikan pada 17 November 1965.

Tema Hari Literasi Internasional dari badan internasional di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu pada 2016 adalah "Membaca Masa Lalu, Menulis Masa Depan" dan tahun 2017 ini bertema Literasi di Era Digital.

UNESCO pada peringatan kali ini mencari tahu kemampuan literasi apa saja yang diperlukan masyarakat dalam menghadapi era digital dan mengeksplorasi program serta kebijakan di bidang literasi.

Di Indonesia, puncak peringatan Hari Aksara Internasional di Stadion Mashud Wisnusaputra, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.

Harris Iskandar sebagai Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) mengatakan bahwa sosialisasi tentang enam literasi dasar ke masyarakat sudah saatnya untuk dilakukan.

"Baca, tulis, hitung atau Calistung saja tidak cukup. Ada enam literasi dasar yang harus dikuasai orang dewasa menurut World Economic Forum, yaitu baca tulis, literasi numerasi, literasi finansial, literasi sains, literasi budaya dan kewarganegaraan, dan literasi teknologi informasi dan komunikasi atau digital," ujarnya.

Dilansir dari data penelitian yang dilakukan Program Pembangunan PBB (United Nations Development Programme/UNDP), tingkat pendidikan berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia masih tergolong rendah, yaitu 14,6 persen.

Persentase ini jauh lebih rendah daripada Malaysia (28 %) dan Singapura mencapai 33 persen. Poin terakhir dari enam literasi dasar tadi menjadi tema yang diangkat UNESCO dalam peringatan tahun ini

UNESCO mencatat, setidak-tidaknya saat ini ada 750 juta orang dewasa dan 264 juta anak putus sekolah yang minim kemampuan literasi dasar.

Oleh karena itu, tahun ini menjadi tantangan sekaligus kesempatan bagi UNESCO bekerja sama dengan pemerintah, organisasi multilateral dan bilateral, LSM, swasta, praktisi pendidikan, dan akademisi untuk mempromosikan literasi di era digital yang sudah melekat di kehidupan masyarakat.

Data statistik dari UNESCO, dari total 61 negara, Indonesia berada di peringkat 60 dengan tingkat literasi rendah. Peringkat 59 diisi oleh Thailand dan peringkat terakhir diisi oleh Botswana.

Adapun Finlandia menduduki peringkat pertama dengan tingkat literasi yang tinggi, hampir mencapai 100 persen. Data ini jelas menunjukkan bahwa minat baca di Indonesia masih tertinggal jauh dari Singapura dan Malaysia.

Beberapa faktor yang mengakibatkan minat baca masyarakat Indonesia masih rendah adalah belum tumbuh kebiasaan membaca yang ditanamkan sejak dini.

Contoh model (role model) anak dalam keluarga adalah orang tua, dan anak-anak biasanya mengikuti kebiasaan orang tua, sehingga peran orang tua dalam mengajarkan kebiasaan membaca menjadi penting untuk meningkatkan kemampuan literasi anak.

Sejumlah pakar menganjurkan agar membaca tak lagi sebagai hobi, sehingga orang masih menganggap sepele, sehingga harus diubah untuk menjadikan membaca sebagai kewajiban.

Faktor lain minat baca rendah adalah akses ke fasilitas pendidikan belum merata dan minim kualitas sarana pendidikan. Faktanya masih banyak anak putus sekolah, sarana pendidikan yang tidak mendukung kegiatan belajar mengajar, dan panjang rantai birokrasi dalam dunia pendidikan. Semua itu berkontribusi menghambat perkembangan kualitas literasi di Indonesia.

Produksi buku di Indonesia juga dinilai masih kurang sebagai dampak belum berkembang penerbit di daerah, insentif bagi produsen buku dirasakan belum adil, dan wajib pajak bagi penulis yang mendapatkan royalti rendah, sehingga memadamkan motivasi mereka untuk melahirkan buku berkualitas.

Karena itu, ke depan diharapkan perhatian serus dari Pemerintah Indonesia maupun pemerintah daerah untuk meningkatkan minat baca masyarakat dan membenahi prasarana pendidikan secara merata agar semua orang bisa mendapatkan akses yang sama dan makin berkualitas.

Program dan Gerakan Pustaka Bergerak semestinya mendapatkan dukungan dari pemerintah dan berbagai pihak, sehingga akan makin nyata dan kuat memberi sumbangan meningkatkan minat baca dan mencerdaskan generasi baru Indonesia kian berkualitas dan kompetitif serta andal dalam berbagai bidang.

Buku sebagai jendela ilmu dan jendela dunia serta sumber informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta sarana pembelajaran, sudah saatnya berada kian dekat dengan kita dan keluarga. Buku berkualitas dengan minat baca yang tumbuh berkembang akan mewujudkan generasi baru Indonesia yang lebih baik.

Pewarta: Budisantoso Budiman
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2017