Cox's Bazar (ANTARA News) - Myanmar mulai menindas etnis Rohingya sejak puluhan tahun lalu. Penindasan dan teror yang dilakukan militer Myanmar memaksa sejumlah warga Rohingya mencari tempat perlindungan.

Pada tahun 1977-1978, sekitar 200.000 orang Rohingya melarikan diri ke distrik-distrik di Bangladesh yang paling dekat dengan Myanmar. Mereka kemudian menetap di kamp pengungsi PBB hingga saat ini.

Tekanan terhadap minoritas Muslim Rohingya kembali pecah pada tahun 1991-1992, yang menyebabkan sekitar 250.000 warga Rohingya menyelamatkan diri ke Bangladesh.

Mereka dianggap "orang asing" di tanah kelahiran mereka sendiri. Secara sistematis Myanmar mengusir warga Rohingya dengan intimidasi mental.

Foto udara sebuah desa Rohingya yang terbakar dekat Maungdaw, utara Rakhine, Myanmar, 27 September 2017. (REUTERS/Soe Zeya Tun)


Mereka dibunuh, disiksa, para perempuan diperkosa, janda-janda menangisi kepergian suaminya yang tak jarang dibunuh di depan mata, mereka juga diserang, ditahan tanpa pengadilan, dan intimidasi lainnya.

Distrik Cox's Bazar menjadi salah satu tujuan pengungsi Rohingya karena berada dekat dengan Myanmar.

Ratusan kilometer harus mereka tempuh selama belasan hari. Mereka berjalan kaki membelah hutan, menyusuri sungai, membawa harapan hidup yang tersisa.

Di antara 250.000 pengungsi yang melarikan diri ke Bangladesh itu, ada seorang bocah laki-laki berusia enam tahun. Ia belum benar-benar memahami apa yang terjadi. Tetapi yang bocah itu tahu, ia harus terus berjalan.

Dari desa asalnya, Tompu Lawe, di Maungdaw, Myanmar, ia bersama kedua orang tua serta empat saudara laki-laki dan seorang saudara perempuannya meninggalkan kampung halaman mereka untuk selamanya.


Babak baru

"Saya masih selalu merindukan kampung halaman saya," kata Emam seraya mengenang masa-masa sulitnya tersebut.

Saat ANTARA News menemuinya, Emam mengenakan jas hitam ke-abu-abuan dan warna celana yang senada.

Emam yang kini berusia 32 tahun itu sudah berhasil menjadi seorang dokter.

Emam juga beraktivitas dan berbaur dengan masyarakat lain meskipun masih tinggal di kamp pengungsian bersama istri dan kedua putranya. Istrinya juga dari etnis Rohingya.

Saat menceritakan bagaimana seorang bocah pengungsi seperti dia bisa sukses menempuh pendidikan hingga menyandang gelar dokter, Emam meminta wawancara yang jauh dari keramaian. Ia mewanti-wanti agar tidak ada orang Bangladesh yang mendengar obrolan kami.

Emam juga menolak untuk diambil gambarnya.

"Tidak aman bagi saya. Kalau mereka sampai tahu saya Rohingya (terutama pemerintah), mereka akan menahan saya," kata Emam.

Emam merupakan segelintir dari pengungsi Rohingya yang berhasil mendapatkan kartu kependudukan Bangladesh (NID). Ini lah yang kemudian membuat dia bisa membaur, tidak seperti pengungsi lain yang banyak memiliki keterbatasan.

Meski demikian, Emam tidak bisa benar-benar bebas. Ia harus menjaga identitasnya sebagai seorang pengungsi Rohingya yang memiliki NID dari orang-orang Bangladesh.

"Saya sudah seperti orang Bangladesh, aksen bahasa juga sama, apalagi saya sudah dari kecil di sini. Ini membuat mereka tidak bisa membedakan," ujarnya.


Perjuangan tiada akhir

Pengungsi Rohingya Pengungsi Rohingya di di kamp pengungsian Madhuchara, Kutupalong, Cox's Bazar. (ANTARA News/Monalisa)

Hidup di kamp pengungsian tanpa status kewarganegaraan tidak membuat Emam kecil enggan untuk mengenyam pendidikan.

"Saya sekolah di sekolahan umum dekat pengungsian dari mulai SD hingga lulus SMA. Kalau dulu, anak pengungsi masih bisa sekolah di sekolahan umum. Kalau sekarang sulit. Lalu saya melanjutkan universitas mengambil kedokteran," jelas Emam.

Saat menempuh bangku kuliah itu, Emam berjuang mendapatkan kartu kependudukan (NID) Bangladesh. Tanpa mengungkap secara detail, Emam berhasil memiliki NID.

"Di keluarga, hanya saya yang mendapat NID, orang tua dan saudara-saudara saya tidak. Karena saya benar-benar berjuang mendapatkan itu," kata Emam.

"Dengan kondisi saat ini, sudah tidak mungkin membuat NID untuk keluarga saya," tambahnya.

Meski memiliki NID, tidak membuat Emam bisa bekerja di Bangladesh.

"Saya tidak bisa bekerja di rumah sakit umum di Bangladesh karena banyak orang yang tahu kalau saya ini seorang Rohingya. Selain itu, kalau saya ingin bekerja di rumah sakit sini masih ada beberapa dokumen penting yang harus saya punya," jelasnya.

Maka, Emam mengadu nasib ke Arab Saudi. Ia bekerja sebagai dokter di rumah sakit swasta di negara tersebut.

Menurut Emam, para pengungsi Rohingya yang berhasil menempuh pendidikan yang baik seperti dirinya, memilih tidak tinggal di Bangladesh.

"Beberapa dari kami juga sukses menjadi dokter, insinyur, dan lain-lain. Tetapi mereka sekarang tidak tinggal di Bangladesh," ujar Emam.

Awalnya, hidup Emam cukup mulus sebagai dokter di Arab Saudi. Setelah dua tahun bekerja di Arab, Emam pulang ke Bangladesh untuk menengok orang tua dan keluarganya.

"Saat saya tiba di Bangladesh, pemerintah sini menangkap saya dan menjebloskan saya ke penjara," katanya.

Emam ditangkap pada 7 Oktober 2012 dan enam bulan kemudian bebas. Namun, ia sudah tidak bisa kembali ke Arab Saudi lagi.


Membangun mimpi

Kondisi tersebut tidak membuatnya terpuruk. Walaupun harus kembali ke pengungsian, Emam membuka lembaran baru hidupnya.

Ia menjadi guru bagi anak-anak Rohingya di kawasan pengungsian. Dengan modal dari hasil bekerja, Emam kemudian membangun madrasah.

"Tahun lalu saya membangun madrasah yang bisa menampung 90 murid. Saya selalu memikirkan anak-anak Rohingya, tentang bagaimana masa depan mereka. Saya berusaha membantu semampu saya," kata Emam.

Anak-anak pengungsi Rohingya sedang mengaji di madrasah yang didirikan lembaga kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap di Madhuchara, Cox's Bazar, Bangladesh, Kamis (21/12). (ANTARA News/Monalisa) (ANTARA News/Monalisa)


Sementara itu, dari kampung halamannya gerilyawan Rohingya melancarkan serangan terhadap pos keamanan, sehingga memicu pembalasan dari pasukan pemerintah dan penjaga keamanan sipil pada 25 Agustus 2017.

Rumah-rumah milik warga Rohingya dibakar hingga tak tersisa. Diskriminasi semakin menjadi-jadi. Perempuan diperkosa, pria dibunuh, banyak anak-anak yang kehilangan orang tua mereka.

Orang-orang Rohingya berbondong-bondong melarikan diri dari Myanmar ke Bangladesh. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyebutnya sebagai arus pengungsi paling cepat berkembang di dunia dan sekaligus mimpi buruk kemanusiaan dan hak asasi manusia.

Setidaknya sudah sekitar 650.000 warga Rohingya, yang separuh dari mereka adalah anak-anak, menyelamatkan diri ke Bangladesh dengan susah payah.

Emam mengaku sedih mengetahui nasib saudara sebangsanya yang semakin memprihatinkan.

"Saya sedih, karena saya juga tidak bisa berbuat apa-apa," kata Emam.

Menurut Emam, pemerintah Myanmar ingin menghilangkan etnis Rohingya.

"Mereka ingin menghabisi etnis Rohingya. Menurut saya, pemerintah Myanmar tidak akan pernah berpihak kepada Rohingya. Saya juga tidak percaya kalau Aung San Suu Kyi bisa mengatasi krisis Rohingya," tutur Emam.

Terkait kesepakatan antara Bangladesh dan Myanmar pada 23 November lalu untuk melakukan repatriasi pengungsi Rohingya kembali ke Myanmar, Emam menyangsikan hal tersebut.

"Saya tidak percaya," katanya.

Meski pesimistis, Emam masih menyimpan mimpinya untuk bisa kembali ke tanah kelahirannya.

"Jika saja krisis Rohingya ini benar-benar bisa selesai, saya ingin pindah ke kampung halaman saya. Biar bagaimana pun, itu adalah tanah kelahiran saya," kata Emam.


Baca juga rangkaian Laporan dari Bangladesh berikut:

Bengisnya tentara Myanmar, mimpi buruk Rohingya

Anak-anak Rohingya dalam mata lensa

Perjalanan berliku menuju kamp pengungsian Rohingya

Pewarta: Monalisa
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2017