Jakarta (ANTARA News) - Putusan majelis hakim dalam kasus Andi Agustinus alias Andi Narogong menguatkan peran mantan Ketua DPR Setya Novanto dalam penganggaran dan pengadaan KTP-Elektronik.
"Dari fakta-fakta hukum di atas ada rangkaian jelas penyamaran perbuatan penerimaan uang dari konsorsium ke terdakwa yang bertujuan menjauhkan pelaku dari tindak pidana korupsi. Selanjutnya majelis akan mempertimbangkan mengenai penerimaan kepada Setya Novanto yang memperoleh uang dari pencairan KTP-E sebear 1,8 juta dolar AS dan 2 juta dolar AS serta uang 383.040 dolar Singapura," kata anggota majelis hakim Emilia Subagdja pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis
Emilia menyampaikan hal itu dalam sidang pembacaan vonis terhadap pengusaha Andi Narogong dalam kasus korupsi KTP-E. Andi divonis 8 tahun penjara ditambah denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti sebesar 2,15 juta dolar AS dan Rp1,186 miliar subsider 2 tahun penjara.
Hakim lalu menyampaikan sejumlah fakta hukum yang masuk dalam pertimbangan yang dilakukan Andi Narogong serta Setya Novanto. Hakim menyebutkan bahwa Andi Agustinus menginisiasi pertemuan antara Setnov dengan mantan Dirjen Dukcapil Kemendagri Irman dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi dan Kependudukan Kemendagri Sugiharto pada Juli-Agustus 2010.
Setnov diminta agar hadir pada pertemuan di hotel Gran Melia pada pukul 06.00 WIB di Hotel Gran Melia Jakarta bersama dengan Irman, Sugiharto dan Sekjen Kemendagri saat itu Diah Anggraeni. Setelah perkenalan, Setnov mengatakan "di Depdagri akan ada program E-KTP yang merupakan program strategis nasional, ayo kita jaga bersama-sama". Selain itu Setnov juga menyatakan dukungannya dalam pembahasan anggaran.
Guna mendapatkan kepastian mengenai dukungan Setnov tersebut, keesokan harinya Andi mengajak Irman untuk menemui Setnov di ruang kerjanya lantai 12 gedung DPR. Andi kembali menemui Setnov dan kali ini Andi diperkenalkan dengan Mirwan Amir selaku pimpinan Badan Anggaran dari Fraksi Partai Demokrat.
Mirwan menyatakan akan mendukung proses pembahasan anggaran proyek penerapan KTP-E dengan syarat Mirwan juga ikut terlibat dalam proyeknya. Untuk itu Andi diminta untuk berkoordinasi dengan Yusnan Solihin. Menindaklanjuti permintaan Mirwan, selanjutnya Andi beberapa kali melakukan pertemuan dengan Yusnan, Aditya Riandi Suroso dan Ignatius Mulyono dan disepakati bahwa proyek e-KTP akan dikerjakan secara bersama-sama antara Andi sebagai representasi Setnov dan Yusnan sebagai representasi Mirwan.
Pertengahan 2010, Andi bertemu dengan Johannes Marliem, Vidi Gunawan, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo dan Mudji Rahmat Kurniawan. Andi menyampaikan bahwa dalam pelaksaan proyek KTP-E terdapat beban komitmen fee kepada beberapa anggota DPR dan pejabat Kementerian Dalam Negeri yaitu 5 persen Kemendagri dan 5 persen untuk DPR termasuk kepada Setnov.
Andi lalu mempertemukan beberapa vendor dengan Setnov, di antaranya Johannes Marliem selaku penyedia AFIS merek L-1 yang diperkenalkan dengan Setnov pada sekitar akhir 2010 di rumah Setnov.
Johannes Marliem menjelaskan kepada Setnov mengenai harga penawaran produk AFIS merk L-1, yakni harga riil perekaman adalah 0,5 dolar AS atau setara dengan Rp5000 per penduduk dan ada juga selisih harga (diskon) dipergunakan untuk diberikan kepada Setnov sebagai komitmen fee sebesar 5 persen dari nilai kontrak. Setnov menyetujui mengenai besaran fee yang akan diterimanya dan anggota Komisi II DPR RI yakni sebesar 5 persen dari nilai proyek.
Fee yang akan diberikan kepada Setnov disepakati diberikan melalui Made Oka Masagung. Dalam rangka memberikan fee kepada Setnov setelah konsorsium PNRI menerima pembayaran termin I dan II, Johannes Marliem mengirimkan beberapa "invoice" dengan menggunakan invoice perusahaan Biomorf Mauritius sehingga terlihat seolah-olah Biomorf menagih pembayaran software kepada PT Quadra Solution sejumlah 3,5 juta dolar AS.
Setelah pembayaran termin III dan IV atau pada awal 2012, Johannes Marliem kembali mengirimkan invoice kepada PT Quadra Solution sejumlah 3,5 juta dolar AS.
Sesuai kesepakatan, uang untuk Setnov dikirimkan kepada Made Oka Masagung melalui beberapa perusahaan milik Made Oka di Singapura, di antaranya Delta Energy Pte Ltd, Oem Investment Capital dan melalui Irvanto Hendra Pambudi Cahyo yang merupakan keponakan Setnov.
Bahwa salah satu penyerahan uang kepada Setnov yang dilakukan melalui Irvanto adalah penyerahan uang pada tanggal 11 Desember 2012 sejumlah 383.040 dolar Singapura. Uang tersebut kemudian ditarik tunai secara bertahap oleh Muda Ikhsan Harahap dan diserahkan kepada Irvanto di rumahnya.
Selain melalui beberapa perusahaan Made Oka Masagung, pengiriman uang juga dilakukan melalui perusahaan milik Anang S Sudihardjo yakni PT Quadra Solution, PT Quantum dan Multicom Pte Ltd dengan underlying transaksi pembelian saham Neuraltus Pharmaceutical sejumlah 2 juta dolar AS meskipun uang tersebut sama sekali tidak ada yang dipergunakan untuk pembelian saham tersebut.
Bahwa setelah penyerahan uang tersebut, Anang keberatan untuk memberikan fee lagi kepada Setnov dan anggota Komisi II DPR RI, sehingga setoran "fee" kepada Setnov menjadi terhenti. Saat Andi Terdakwa melaporkan hal tersebut kepada Setnov, Setnov tetap menagih komitmen fee yang telah disepakati di awal yakni sebesar 5 persen dari nilai kontrak.
Pada bulan November 2012 Andi Narogong masih memberikan uang kepada Johannes Marliem sejumlah Rp650 juta sebagai uang patungan untuk membeli 1 jam tangan merk Richard Mille seri RM-011. Marliem membeli beberapa jam Richard Mille di Beverly Hills Boutique, California Amerika Serikat yang salah satunya adalah jam tangan Richard Mille seri RM-011 seharga 135 ribu dolar AS.
Jam tangan tersebut selanjutnya diserahkan oleh Andi bersama Johannes Marliem kepada Setnov dirumahnya pada sekira akhir November 2012 sebagai bagian dari kompensasi karena Setnov telah membantu dalam proses pembahasan anggaran proyek KTP-E.
"Pada waktu proyek E-KTP dalam penyidikan, Setya Novanto mengembalikan jam tangan tersebut kepada terdakwa selanjutnya jam tangan tersebut terdakwa jual seharga Rp1 miliar lebih dari hasil penjualan sebesar Rp650 juta terdakwa ambil selanjutnya diserahkan ke staf Johannes Marliem," kata hakim Emilia.
"Irvanto masih punya hubungan kekerabatan dengan Setya Novanto, yang bersangkutan juga direktur PT Murakabi Sejahtera salah satu konsorsium peserta lelang KTP-E yang berkantor di menara Imperium lantai 27 milik Setya Novanto yang sebagaian kepemilikan sahamnya dipegang oleh PT Mondialindo yang sebagian pernah dimiliki oleh Deisti Astriani Tagor, istri Setya Novanto dan Rheza Herwindo anak Setya Novanto dan Dwina Michaela anak Setya Novanto," tambah hakim Ansyori Saifuddin.
Dalam putusan, majelis hakim juga menyatakan bahwa Setya Novanto terbukti memperoleh uang dari pencairan KTP-E sebear 1,8 juta dolar AS dan 2 juta dolar AS serta uang 383.040 dolar Singapura.
Jumlah itu masih di bawah penerimaan yang didakwakan JPU KPK terhadap Setnov yang menyatakan bahwa Setnov mendapatkan 7,3 juta dolar AS ditambah jam tangan Richard Mille senilai 135 ribu dolar AS dari proyek KTP-Elektronik.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2017