Surabaya (ANTARA News) - Usulan banyak pihak agar sertifikat atas lahan Pusat Latihan Tempur (Puslatpur) Marinir di Grati, Pasuruan, Jatim yang dipegang TNI AL dicabut, dinilai sebagai gagasan yang mengada-ada karena tidak memiliki dasar hukum. "Pencabutan sertifikat tanah karena dua hal. Pertama, ada kesalahan administrasi, seperti salah nama atau nomor. Kalau seperti itu, bisa langsung dicabut dan diganti yang baru," kata Kadispen Komando Armada RI Kawasan Timur (Koarmatim), Letkol Laut (KH) Drs Toni Syaiful kepada ANTARA News di Surabaya, Kamis. Hal kedua yang memungkinkan sertifikat dicabut adalah karena ada keputusan pengadilan, baik PTUN maupun pengadilan negeri (PN). Pencabutan lewat PTUN dilakukan jika ada gugatan atas SK penerbitan setifikat oleh BPN, sedangkan menyangkut pidana diselesaikan lewat PN. Menurut Kadispen, Badan Pertanahan Nasional (BPN) tidak memiliki wewenang mencatat atas pelepasan hak atas tanah negara tanpa ada persetujuan dari pemerintah, yakni Menteri Keuangan (Menkeu) selaku bendahara negara. "Kalau tanah Grati itu harus dilepas oleh negara, maka prosesnya tidak mudah karena sangat lama dan panjang. Apalagi ada usulan agar sertifikatnya dicabut. Padahal TNI AL telah memenangkan sengketa kepemilikan itu lewat proses pengadilan," paparnya. Ia meminta semua pihak yang tidak tahu pasti mengenai persoalan tanah di Puslatpur Grati pascainsiden penembakan oleh 13 Marinir yang menewaskan empat warga sipil agar tidak asal mengeluarkan komentar yang tanpa didukung data dan fakta. "Tanah Grati seluas 3.569 hektar lebih itu adalah tanah IKN (inventaris kekayaan negara). Tanah itu aset negara yang terdaftar atasnama TNI AL. Jadi, posisi TNI AL bukan pemilik. Kalau dilepas maka harus melalui mekanisme pelepasan hak atas aset negara," ucapnya, menegaskan.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007