Ketika berpidato dalam Musyawarah Nasional Luar Biasa Partai Golkar, Airlangga Hartarto yang menjadi nahkoda baru partai berlambang pohon beringin itu mencanangkan salah satu target politik partainya, yakni memperoleh suara pemilihan umum legislatif 2019 sebanyak 16 persen.
Angka itu merupakan peningkatan sebanyak 1,25 persen dibandingkan perolehan suara yang diraih Partai Golkar pada pemilihan umum legislatif pada 2014.
Target yang dicanangkan putera menteri perindustrian di era Presiden Soeharto itu tampaknya tak terlalu ambisius. Angka target itu juga masih di bawah suara perolehan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang mencapai 18,95 persen.
Dalam komposisi jumlah kursi yang dimiliki parpol di DPR hasil pemilu 2014, posisi Partai Golkar di bawah PDIP yang menempati peringkat pertama. Cukup menarik bahwa Airlangga tak hendak memperlihatkan ambisi berlebihan, misalnya dengan menargetkan angka 20 persen dalam pemilihan legislatif 2019.
Airlangga tampaknya menyadari bahwa mengalahkan PDIP dalam perolehan kursi di DPR bukan misi yang realistis apalagi dalam tiga tahun terakhir Partai Golkar justru memperlihatkan citra yang tak sedap karena sejumlah kadernya hingga ketua umumnya terlibat dalam berbagai skandal korupsi.
Dengan demikian, jika Partai Golkar bisa mempertahankan posisinya sebagai parpol di peringkat kedua, seperti perolehan suaranya pada 2019, ditambah dengan kenaikan 1,25 persen, maka hal itu sudah berkah yang pantas disyukuri.
Pertanyaannya: Dengan strategi politik macam apakah dan bagaimana Airlangga mencapai target yang dicanangkannya itu? Jawaban atas pertanyaan itu tentunya, jika Airlangga konsisten, tak bertolak belakang dengan visinya tentang Partai Golkar harus menjadi parpol bersih dari korupsi.
Artinya, sejak dia memimpin parpol yang dibangun lewat berbagai faksi kekuatan sosial itu, semua kader di bawahnya harus mengejahwantakan visinya dalam praktik berpolitik. Ini bukan pekerjaan seperti membalikkan telapak tangan. Namun, Airlangga perlu mencobanya sebagai eksperimen politik yang tak mustahil untuk berhasil.
Publik tahu bahwa biaya politik di negeri ini begitu tinggi. Negara memberi sumbangan ke parpol dengan jumlah atau nilai rupiah yang tak signifikan. Akibatnya, biaya politik ditanggung oleh kader, baik yang sedang berkompetisi dalam pemilihan legislatif maupun dalam pemilihan kepala daerah.
Partai politik perlu dana besar untuk menjalankan roda organisasi. Dewan pimpinan pusat memperoleh pemasukan seringkali dengan melakukan kapitalisasi nomor urut calon legislatif. Semakin besar caleg itu sanggup memberikan sumbangan finansial kepada parpol, semakin tinggi pula peluangnya untuk ditempatkan pada urutan tertinggi.
Berkantong tebal berpeluang
Dengan mekanisme seperti itu, caleg-caleg yang berkantong tebal, yang paling berkemampuan membayar sumbangan tertinggilah yang berpeluang menjadi politisi di Senayan. Itu gambaran umum dalam kompetisi internal parpol. Tapi dalam pertarungan antarparpol, setiap parpol juga membuka peluang bagi tokoh ternama, selebritas untuk diberi tempat tanpa membayar mahar politik.
Nama Jalaluddin Rakhmat yang tenar di Jawa Barat, misalnya. Dia digaet PDIP pada pemilihan legislatif 2014 dan akhirnya menjadi legislator karena publik di Jawa Barat begitu percaya pada integritasnya. Selebihnya, nama-nama pelawak, artis sinetron, penyanyi dipilih publik karena masyarakat tak percaya pada politisi pesaing para pesohor itu.
Apa yang akan dilakukan Airlangga dalam konstelasi politik yang sarat dengan politik finansial? Apakah dia akan melanjutkan tradisi menjalankan roda organisasi parpol sebagaimana lazimnya seperti yang dijalankan para pendahulunya?
Airlangga yang terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar tanpa pesaing merupakan awal yang bagus. Tak banyak ongkos politik yang harus dia keluarkan, yang tentu akan berbeda jika dia harus bertarung dalam kompetisi dengan kader lain yang kuat secara finansial.
Publik bisa membayangkan apa yang akan terjadi seandainya dia harus bersaing dengan kader Golkar yang kekayaan dan karakternya sederajat dengan Setya Novanto, mantan bos Golkar yang kini didakwa sebagai koruptor senilai triliunan rupiah.
Dalam hitungan paling lama sebulan ini, Airlangga diberi amanat untuk memilih pengurus yang mendampinginya selama memimpin Partai Golkar. Jika merujuk pada visinya tentang Golkar yang bersih, pilihan yang rasional harus didasarkan pada kapabilitas dan integritas.
Sayangnya, dalam politik, konsistensi sering terlanggar demi menjaga harmoni demi kompromi-kompromi.
Partai Golkar sebagai partai terbesar kedua, dengan perolehan kursi yang signifikan di lembaga legislatif pusat maupun daerah, sesungguhnya cukup prospektif untuk dikapitalisasi. Tentu, Airlangga diharapkan tak memilih jalan kapitalisasi kursi legislatif demi visinya tentang Partai Golkar yang bersih.
Dalam Munaslub yang mengukuhkan Airlangga sebagai nahkoda Golkar, ada semboyan politik yang sekaligus jadi tema utama: Golkar, Bersih, Golkar Bangkit, Bangsa Sejahtera.
Publik tentu berharap bahwa selama menjalankan mesin partai, Airlangga selalu mengingat dan berjalan sesuai dengan semboyan tersebut. Menyejahterakan rakyat tentu tidak dengan membagi sembako saat pemilu dan dilanjutkan dengan konspirasi koruptif dengan kalangan eksekutif.
Yang diharapkan dari kader Golkar yang berhasil menjadi legislator adalah menghasilkan produk hukum yang propublik. Hukum yang menyejahterakan publik pastilah dinikmati semua warga negara bukan cuma warga yang saat pemilu mencoblos kader Golkar. Di sinilah makna Golkar yang tak korup pasti menyejahterakan warga secara keseluruhan.
Pewarta: Mulyo Sunyoto
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2017