Itu kesalahan saya tidak melaporkan."

Jakarta (ANTARA News) - Sidang kesaksian di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) terbukti total ada 30 ransel uang senilai Rp18 miliar hingga Rp19 miliar ditemukan dalam Operasi Tangkap Tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (OTT KPK) di kamar Mantan Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Antonius Tonny Budiono.

"Uang ditaruh di ransel, 30 tas, saya tahu dari penyidik," kata Tonny, saat bersaksi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin.

Tonny bersaksi untuk terdakwa Komisaris PT Adhiguna Keruktama Adi Putra Kurniawan yang didakwa menyuap Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan (Dirjen Hubla) Antonius Tonny Budiono senilai Rp2,3 miliar terkait pelaksanaan pekerjaan pengerukan pelabuhan dan Surat Izin Kerja Keruk (SIKK).

"Mata uangnya bervariasi ada dolar Singapura, dolar AS, ringgit Malaysia, poundsterling karena setiap tahun mengikuti sidang di London, kalau di Singapura mengikuti pertemuan tiga pihak antara Singapura, Indonesia dan Malaysia sehingga saya simpan dolar Singapura, hanya kalau uang dalam 1.000 dolar Singapura itu dari pemberian," ujarnya.

Ia pun mengungkapkan, "Uang itu saya kumpulkan selama bertahun-tahun, bahkan ada yang sudah meleleh karena menempel. Ada uang istri saya juga sebagai guru, karena dapat dari wali murid mendapat saat kenaikan kelas."

(Baca juga: Mantan Dirjen Hubla akui kontrak kerja penuh rekayasa)

Dalam dakwaan disebutkan Adi Putra Kurniawan membuka beberapa rekening di Bank Mandiri menggunakan KTP palsu dengan nama Yongkie Goldwing dan Joko Prabowo sehingga pada 2015--2016 membuat 21 rekening di bank Mandiri cabang Pekalongan dengan nama Joko Prabowo.

Ia bertujuan kartu bank ATM-nya dapat diberikan kepada orang lain, yaitu anggota lembaga swadaya masyarakat (LSM), wartawan, preman di proyek lapangan, rekan wanita dan beberapa pejabat di Kementerian Perhubungan (Kemengub).

Tonny mengaku, sebelum ditangkap pada 23 Agustus 2017 dalam OTT KPK sempat menghadiri sejumlah kegiatan pada pagi harinya.

"Pada pagi harinya, saya menghadiri kegiatan di Mabes Polri untuk Natal mendampingi Pak Menteri kemudian ke satu hotel untuk menghadiri acara masyarakat kereta api. Saya juga Plt Dirjen Kereta Api, lalu saya ke kemenko Maritiim," ujarnya.

Ia menimpali, "Saya pulang 18.30, lalu pintu saya ketok-ketok, tapi saya tidak buka dan saya hanya katakan `Mohon maaf urusan kantor silakan ke kantor`. Ternyata, yang datang orang KPK."

Saat itu, Tonny menyatakan, dirinya hanya mengenakan singlet dan celana pendek, dan mengaku biasa menyimpan uang tunai di dalam rumah.

"Kadang sebagai pejabat mendadak perlu uang, misalnya saat saya ditunjuk sebagai kordinator pencarian black box Air Asia. Saat itu saya bawa satu juta dolar, termasuk uang perjalanan dinas dan honor. Uang-uang itu berasal dari uang perjalanan dinas, uang pribadi almarhumah istri saya dan uang dari kontraktor, dan pengurusan izin," ungkapnya.

Salah satu asosiasi pengurusan izin yang memberikan uang kepadanya adalah seseorang yang dipanggil sebagai Ibu Billy oleh Tonny, jumlahnya senilai 30.000 dolar Amerika Serikat (AS).

"Lalu dari PT Dumas 10.000 dolar AS, perusahaan Safik 50.000 dolar AS, Harsono Rp30 juta," tambahnya.

Saat ditanya jaksa KPK, "Kenapa tidak dilaporkan ke KPK dari pemberian-pemberian itu?", maka Tonny pun menjawab: "Itu kesalahan saya tidak melaporkan."

Adi Putra Kurniawan didakwa berdasarkan pasal 5 ayat (1) huruf b atau pasal 13 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 ayat (1) KUHP.

Pasal tersebut berisi tentang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah padahal diketahui bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2017