Jakarta (ANTARA News) - PT Pertamina EP, anak usaha PT Pertamina (Persero), selaku Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) migas tidak diperbolehkan memberikan dana ganti rugi bagi para penambang liar yang menyerobot sumur minyak di wilayah kerja mereka.
"Namanya juga ilegal, liar. Pertamina atau KKKS lain tak boleh mengeluarkan dana untuk kegiatan ilegal. Yang diperlukan adalah sosialisasi kegiatan penyerobotan dan pengeboran sumur minyak. Itu tugas semuanya, terutama pemerintah dan SKK Migas serta KKKS," ujar Wakil Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Satya W Yudha di Jakarta, Rabu.
Menurut Satya, migas adalah domain pemerintah pusat. Karena itu, segala aktivitasnya, termasuk pengeboran, dilakukan oleh otoritas yang ditunjuk pemerintah pusat, yaitu KKKS.
Apabila masyarakat kemudian mengebor, apalagi menyerobot sumur minyak yang ada di wilayah kerja KKKS tanpa persetujuan pemerintah pusat, aktivitas tersebut adalah ilegal.
"Itu yang harus ditindak dan disosialisasikan sehingga masyarakat paham apa yang mereka lakukan. Kalaupun ada dana CSR (corporate social responsibility) yang dikeluarkan KKKS, itu bukan berarti pengganti dari kegiatan illegal drilling," ujarnya.
Para pemangku kepentingan di industri hulu migas, terutama pemerintah, SKK Migas dan KKKS, harus bekerja sama menyosialisasikan dampak kegiatan pengeboran sumur minyak secara liar apalagi dilakukan di sumur minyak milik negara yang dikelola oleh KKKS.
Satya mengakui bahwa kegiatan penyerobotan dan pengeboran sumur minyak ilegal pasti didukung oleh pihak tertentu, baik perusahaan maupun individu, yang memiliki dana. Masyarakat hanya dijadikan pekerja sedangkan keuntungan besar diperoleh penyandang dana.
"Tidak ada ceritanya masyarakat kecil menggunakan alat yang complicated, pasti ada oknum di belakangnya," katanya.
Menurut Imam Prihandono, pakar hukum migas dari Universitas Airlangga Surabaya, kegiatan penambangan minyak secara liar sangat berbahaya. Kerusakan lingkungan dan dampak sosial kemasyarakatan akibat penambangan liar menjadi tanggung jawab pemerintah.
Imam mengatakan sumur minyak yang berada di wilayah kerja KKKS merupakan objek vital nasional sehingga diperlukan penjagaan yang lebih ketat. Namun, aparat kepolisian dan petugas keamanan perlu juga memiliki standar prosedur operasi yang jelas.
"Ini terkait dengan kapan mengambil tindakan keras dan penggunaan senjata agar tidak terjadi pelanggaran," katanya.
Seperti diberitakan sebelumnya, pada 21 November 2017 aparat kepolisian dari Polres Musi Banyuasin dibantu oleh SKK Migas, Pertamina EP, serta aparat pemerintah daerah, menutup 20 sumur minyak milik negara di Mangunjaya, Kecamatan Babattoman, salah satu wilayah kerja Pertamina EP Asset 1 Field Ramba (unit operasional PT Pertamina EP).
Namun penutupan sumur tersebut mendapat tentangan oknum penambang liar yang tak mau sumurnya ditutup dan stagger (alat bantu untuk mengebor sumur) dirobohkan. Bahkan, sehari setelah penutupan, dua sumur dirusak/dibuka kembali oleh penambang liar.
Mereka bahkan menuntut ganti rugi atas modal yang dikeluarkan untuk menambang sumur di wilayah kerja Pertamina EP Asset 1 Field Ramba, selain meminta legalisasi atas kegiatan penambangan.
Pewarta: Faisal Yunianto
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017