Analis Valbury Asia Futures Lukman Leong di Jakarta, Rabu, mengatakan bahwa rupiah menguat terbatas, hal itu dikarenakan pelaku pasar berekspektasi hasil pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) memutuskan menaikkan suku bunga Amerika Serikat.
"Jika hasilnya sesuai ekspektasi pasar, maka dolar AS berpeluang masuk dalam tren menguat ke depannya," ujarnya.
Ia menambahkan bahwa tren penguatan dolar AS juga akan didukung oleh program reformasi pajak Amerika Serikat. Dengan kebijakan itu, ekonomi Amerika Serikat diperkirakan akan membaik.
Kendati demikian, menurut dia, meski rupiah berpotensi mengalami depresiasi terhadap dolar AS, namun hal itu masih dinilai wajar dikarenakan bukan memfaktorkan ekonomi nasional.
"Fundamental ekonomi Indonesia masih kuat sehingga jika terjadi pelemahan pada rupiah sifatnya hanya sementara," katanya.
Analis Bank Woori Saudara Rully Nova menambahkan bahwa lembaga pemeringkat utang internasional Moody`s yang melaporkan Liquidity Stress Indicator (LSI) Indonesia yang menurun dari 24 persen pada Oktober menjadi 23,1 persen pada November 2017 diharapkan dapat menjaga fluktuasi rupiah lebih stabil di tengah sentimen Amerika Serikat itu.
"Dengan adanya laporan itu diharapkan investor tetap optimistis menempatkan investasinya di dalam negeri," katanya.
Sementara itu, dalam kurs tengah Bank Indonesia (BI) pada Rabu (13/12) mencatat nilai tukar rupiah bergerak melemah ke posisi Rp13.589 dibandingkan posisi sebelumnya Rp13.550 per dolar AS.
Pewarta: Zubi Mahrofi
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2017