"Harus kerja ekstra, terlebih kalau Partai Gerindra menggaet PKS yang mengusung Ahmad Syaikhu menjadi wakilnya," kata Muradi, usai diskusi bertema Figur Gubernur Jawa Barat 2018-2023, di Bandung, Senin.
Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Prabowo Subianto, di Hambalang, Bogor, Jawa Barat, pada Sabtu (9/12) secara resmi mengajukan Sudrajat sebagai calon gubernur yang akan diusungnya pada Pilkada Jawa Barat 2018.
Sudrajat pernah menjadi kepala Pusat Penerangan TNI pada awal-awal reformasi, dan duta besar Indonesia untuk China.
Menurut Muradi, apabila memakai model normatif, yakni cara formal dan biasa tanpa menggunakan manuver politik, menggunakan isu SARA, dan subjektif, seperti saat dalam memenangkan Pilkada DKI Jakarta lalu, akan sangat berat bagi Partai Gerindra untuk memenangkan Sudrajat dalam Pilkada Jawa Barat 2018.
Akan tetapi, lanjut dia, apabila Partai Gerindra memakai model politik tidak formal ini malah akan mengganggu pendewasaan politik dan demokrasi di Jawa Barat.
"Sehingga saat Sudrajat naik, semua kembali di posisi nol. Kalau PKS dan PAN ikut ke Gerindra, Deddy Mizwar tidak akan punya teman dan bisa saja Deddy Mizwar tidak bisa mendaftar karena kurang kursi," kata Muradi.
Dia menuturkan secara hubungan politik, PKS dan PAN lebih nyaman bekerja sama dengan Partai Gerindra daripada dengan Partai Demokrat.
Akan tetapi, lanjut dia, di sisi lain, PAN belum menyatakan secara resmi mendukung calon gubernur untuk Deddy Mizwar dan juga dengan PKS yang belum memgeluarkan Surat Keputusan pengusungan Deddy Mizwar dan bahkan kadernya sendiri Ahmad Syaikhu.
Ia mengatakan meskipun PKS adalah partai yang memiliki mesin partai berkinerja baik yang mampu bekerja maksimal memenangkan pasangan calon, popularitas dan elektabilitas Ahmad Syaikhu menjadi penghambat pemenangan Pilgub Jabar 2018.
"Terlebih kalau dipasangkan dengan Sudrajat. Kalau memasangkan Sudrajat dengan Ahmad Syaikhu, itu pekerjaan luar biasa. Pengusungan Sudrajat ini bisa disebut telat, karena tinggal tujuh bulan lagi sampai pemungutan suara Pilkada Jawa Barat 2018," katanya.
Lebih lanjut ia mengatakan pengusungan Sudrajat ini, katanya, buntut dari ketidakmampuan Gerindra dalam mengontrol pemimpin daerah yang dimenangkannya.
Dia mencontohkan Partai Gerindra mampu memenangkan Jokowi, Ahok, dan Ridwan Kamil, dalam pilgub, namun akhirnya tidak bisa mengontrol kekuasaannya.
"Dan di sisi lain, Partai Golkar yang berencana menggelar Munaslub untuk mengganti kepemimpinan Setya Novanto sebagai ketua umumnya, dapat memengaruhi pilihan Partai Golkar dalam pengusungan calon gubernur pada Pilgub Jabar 2018," kata dia.
Ia menilai keputusan Partai Golkar yang mengusung Ridwan Kamil dan Daniel Muttaqien dapat berubah sehingga Partai Golkar akan mengusung Dedi Mulyadi.
"Tapi jika tetap mengusung Ridwan Kamil, PPP dan PKB bisa saja mencabut dukungan untuk Ridwan Kamil karena kedua partai ini pun `keukeuh` ingin menjadikan kadernya sebagai calon wakil gubernur Ridwan Kamil.
"Dan calon lain akan muncul jika dua partai dari koalisi pendukung Ridwan Kamil keluar. Kalau Uu Ruzhanul Ulum tidak jadi cawagub, PPP akan pindah. Kemudian kalau Partai Golkar menggelar Munaslub, dukungan bisa pindah untuk Dedi Mulyadi, dan Ridwan Kamil bisa jomblo lagi tidak didukung partai selain Nasdem," katanya.
Menurut Muradi, apabila memakai model normatif, yakni cara formal dan biasa tanpa menggunakan manuver politik, menggunakan isu SARA, dan subjektif, seperti saat dalam memenangkan Pilkada DKI Jakarta lalu, akan sangat berat bagi Partai Gerindra untuk memenangkan Sudrajat dalam Pilkada Jawa Barat 2018.
Akan tetapi, lanjut dia, apabila Partai Gerindra memakai model politik tidak formal ini malah akan mengganggu pendewasaan politik dan demokrasi di Jawa Barat.
"Sehingga saat Sudrajat naik, semua kembali di posisi nol. Kalau PKS dan PAN ikut ke Gerindra, Deddy Mizwar tidak akan punya teman dan bisa saja Deddy Mizwar tidak bisa mendaftar karena kurang kursi," kata Muradi.
Dia menuturkan secara hubungan politik, PKS dan PAN lebih nyaman bekerja sama dengan Partai Gerindra daripada dengan Partai Demokrat.
Akan tetapi, lanjut dia, di sisi lain, PAN belum menyatakan secara resmi mendukung calon gubernur untuk Deddy Mizwar dan juga dengan PKS yang belum memgeluarkan Surat Keputusan pengusungan Deddy Mizwar dan bahkan kadernya sendiri Ahmad Syaikhu.
Ia mengatakan meskipun PKS adalah partai yang memiliki mesin partai berkinerja baik yang mampu bekerja maksimal memenangkan pasangan calon, popularitas dan elektabilitas Ahmad Syaikhu menjadi penghambat pemenangan Pilgub Jabar 2018.
"Terlebih kalau dipasangkan dengan Sudrajat. Kalau memasangkan Sudrajat dengan Ahmad Syaikhu, itu pekerjaan luar biasa. Pengusungan Sudrajat ini bisa disebut telat, karena tinggal tujuh bulan lagi sampai pemungutan suara Pilkada Jawa Barat 2018," katanya.
Lebih lanjut ia mengatakan pengusungan Sudrajat ini, katanya, buntut dari ketidakmampuan Gerindra dalam mengontrol pemimpin daerah yang dimenangkannya.
Dia mencontohkan Partai Gerindra mampu memenangkan Jokowi, Ahok, dan Ridwan Kamil, dalam pilgub, namun akhirnya tidak bisa mengontrol kekuasaannya.
"Dan di sisi lain, Partai Golkar yang berencana menggelar Munaslub untuk mengganti kepemimpinan Setya Novanto sebagai ketua umumnya, dapat memengaruhi pilihan Partai Golkar dalam pengusungan calon gubernur pada Pilgub Jabar 2018," kata dia.
Ia menilai keputusan Partai Golkar yang mengusung Ridwan Kamil dan Daniel Muttaqien dapat berubah sehingga Partai Golkar akan mengusung Dedi Mulyadi.
"Tapi jika tetap mengusung Ridwan Kamil, PPP dan PKB bisa saja mencabut dukungan untuk Ridwan Kamil karena kedua partai ini pun `keukeuh` ingin menjadikan kadernya sebagai calon wakil gubernur Ridwan Kamil.
"Dan calon lain akan muncul jika dua partai dari koalisi pendukung Ridwan Kamil keluar. Kalau Uu Ruzhanul Ulum tidak jadi cawagub, PPP akan pindah. Kemudian kalau Partai Golkar menggelar Munaslub, dukungan bisa pindah untuk Dedi Mulyadi, dan Ridwan Kamil bisa jomblo lagi tidak didukung partai selain Nasdem," katanya.
Pewarta: Ajat Sudrajat
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2017