Dalam moratorium WTO tersebut, negara-negara berkembang disebutkan tidak boleh mengenakan bea masuk atas barang tak berwujud yang diperdagangkan secara elektronik. Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, pemerintah tidak perlu meminta izin ataupun melobi WTO untuk mengenakan bea masuk tersebut karena moratorium itu sendiri akan berakhir pada 31 Desember 2017.
"Begitu Januari, itu boleh. Gak perlu lobi dulu, itu akan berlaku sebagaimana itu berlaku," ujar Darmin seusai menjadi pembicara kunci dalam Seminar Outlook Industri 2018 di Jakarta, Senin.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bea masuk untuk barang tak berwujud diharapkan bisa dilakukan pada tahun depan. Adapun contoh barang tak berwujud tersebut yaitu buku elektronik (e-book), software, dan barang lainnya yang tak memiliki wujud.
Kemenkeu masih terus mengkaji rencana pengenaan bea masuk terhadap barang tak berwujud tersebut, salah satunya terkait tata kelola pengenaan pungutan terhadap intangible goods yang hingga kini belum ditetapkan oleh World Customs Organisation (WCO) dan juga mendeteksi transaksinya.
Di tengah makin berkembangnya perdagangan elektronik (e-commerce), pengenaan bea masuk terhadap intangible goods berpotensi menjadi penerimaan negara.
Pada tahun ini, negara-negara maju termasuk Indonesia mengajukan permintaan kepada WTO agar pada 2018, bea masuk terhadap barang tak berwujud bisa dikenakan.
Adapun Moratorium WTO pertama kali dicanangkan pada 20 Mei 1998 dalam Second Ministerial Conference di Jenewa, Swiss. Konferensi serupa kembali dijadwalkan berlangsung pada 10-13 Desember 2017 di Argentina.
Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2017