Kupang (ANTARA News) - Masyarakat Leragere di Kecamatan Lebatukan, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT), terus menagisi lahan pertanian mereka yang kini "disabot" PT Merukh Enterprises. Perusahaan yang berkantor pusat di Jakarta itu bersikeras mencaplok lahan warga kawasan timur Pulau Lembata itu, yang konon terpendam tambang emas. Hampir tak pernah berhenti, masyarakat Leragere melakukan aksi protes ke DPRD Lembata dan pemerintahan Bupati Andreas Duli Manuk di Lewoleba, ibukota Kabupaten Lembata. Mereka menolak keinginan PT Merukh Enterprises untuk melakukan eksploitasi di lahan rakyat seluas 2.275 hektare. Rakyat menolak, karena hal itu bukan saja menyebabkan mereka akan kehilangan lahannya, tapi mematikan eksistensi mereka sebagai orang Leregere. Situasi inilah yang membuat masyarakat Leragere gerah. Protes rakyat Leragere bukan hanya tak digubris Bupati Andreas Duli Manuk, tapi juga tak disahuti wakil rakyat Lembata yang duduk di DPRD setempat. Akibatnya masyarakat Leregere melakukan sumpah adat menolak rencana investasi tambang emas yang dilakukan PT Merukh Enterprises. "Jika sumpah adat sudah digelar, siapa pun pasti akan menerima risikonya, jika tetap memaksakan kehendak untuk melakukan investasi," ujar Gabriel Suku Kotan, putra asal Leragere kepada ANTARA di Kupang, Jumat pekan lalu. Ia mengatakan, pemerintahan Bupati Andreas Duli Manuk telah melakukan kesalahan besar karena tidak pernah melakukan sosialisasi dengan rakyat Leragere soal investasi tambang emas di Leragere. "Pemerintah terkesan memaksakan kehendak untuk mendorong perusahaan itu melakukan investasi, padahal kontra karya kerja tentang investasi pertambangan, tidak pernah disampaikan pemerintah kepada rakyat selama ini," ujarnya. Namun, Andreas Duli Manuk dalam suatu percakapan dengan ANTARA melalui telepon mengatakan, ketakutan masyarakat Leragere bahwa kampung halamannya akan tenggelam dan tatanan adatnya menjadi rusak akibat investasi tersebut, adalah sesuatu yang berlebihan. "Sebagai orang Lamaholot, saya tidak mungkin akan merusak tatanan adat seperti yang dikhawatirkan oleh masyarakat selama ini. Kami tahu itu. Dan harus diingat bahwa tidak semua lokasi di Lebatukan memiliki potensi tambang emas," ujarnya. Ia menjelaskan, wilayah Lebatukan yang memiliki potensi tambang emas hanya di Desa Lewolein, tetapi berapa besar depositnya, masih harus dilakukan penelitian oleh perusahaan bersangkutan, bukan langsung melakukan eksploitasi. Atas dasar itu, ia mengeluarkan izin kuasa pertambangan untuk penyelidikan umum bagi perusahaan tersebut untuk melakukan penyelidikan yang akan ditindaklanjuti dengan studi kelayakan jika depositnya memungkinkan untuk dieksploitasi. Jauh sebelum PT Merukh Enterprises melakukan rencana investasi tambang emas di Kecamatan Buyasuri dan Lebatukan, PT Permata Lembatama Simpati sudah melakukan penelitian tentang potensi emas di wilayah itu sejak memperoleh izin kuasa pertambangan pada 2001 dari pejabat Bupati Lembata pada saat itu, Drs Pieter Boliona Keraf. "Kami sudah melakukan penyelidikan umum terhadap potensi emas di kedua kecamatan itu, namun tidak melanjutkan lagi usaha tersebut setelah permohonan untuk memperpanjang izin kuasa pertambangan (KP) No.63/2001 ditolak oleh Bupati Andreas Duli Manuk," kata Direktur PT Permata Lembatama Simpati, Drs Stephanus Ledo Beyeng. Setelah upaya untuk memperpanjang KP itu ditolak oleh penguasa Lembata saat ini, tiba-tiba muncul PT Merukh Enterprises yang berkeinginan untuk mengeksploitasi tambang emas di Kecamatan Buyasuri dan Lebatukan. PT Permata Lembatama Simpati sudah mengidentifikasi potensi emas di kedua kecamatan itu bersama ahli geologi dari Bandung pada 2001 lalu. Di wilayah Kecamatan Buyasuri teridentifikasi emas seluas sekitar 1.575 hektare di Blok Ilin Auoli dan Blok Wa`Puen seluas 1.559 hektare, sedang di Kecamatan Lebatukan teridentifikasi seluas 2.275 hektare di Blok Lewolein. "Di Lebatukan hanya Desa Lewolein yang diduga memiliki potensi emas. Karena itu, kekhawatiran masyarakat Desa Leragere bahwa kampung halamannya akan tenggelam adalah sesuatu yang berlebihan. Di Leragere tidak ada potensi emas," kata Bupati Duli Manuk menimpali. Menurut Gabriel Suku Kotan, tindakan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Leragere tidak bisa dipersalahkan oleh pemerintah, karena informasi yang berkembang bahwa kampung halaman mereka juga tergusur jika usaha pertambangan emas itu jadi dilaksanakan oleh PT Merukh Enterprises. "Atas dasar itulah, mereka pergi ke para wakil rakyat dengan linangan air mata untuk menanyakan nasibnya, tetapi apalah daya, pintu pagar DPRD Lembata tertutup rapat sehingga aspirasi mereka tidak jadi kesampaian," katanya. Di kalangan anggota DPRD Lembata, juga terjadi pro kontra dengan investasi tambang emas yang dilakukan oleh PT Merukh Enterprises itu, sehingga paripurna yang digelar untuk membahas masalah yang dihadapi masyarakat Leragere, tidak jadi dilaksanakan. Ketua DPRD Lembata, Pieter Boliona Keraf yang juga mantan pejabat Bupati Lembata memilih tidak menyelenggarakan paripurna tersebut karena hanya quorum tidak memenuhi. Pengamat hukum tata negara dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Dr John Stefanus Kotan mengatakan, DPRD Lembata telah mempertontonkan sikap berhamba pada penguasa sehingga melecehkan rakyat yang diwakilinya. "Sikap yang dipertontonkan anggota DPRD seperti ini, justru menjadi alasan yang kuat bagi rakyat untuk tidak perlu lagi menghargai wakilnya," kata staf pengajar pada Fakultas Hukum Undana Kupang itu. Air mata rakyat Lembata dari lokasi tambang emas itu seakan tak berarti lagi bagi wakilnya yang duduk DPRD, karena mereka telah menjadi hambanya penguasa. (*)
Oleh Oleh Lorensius Molan
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007