Jakarta (ANTARA News) - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan setuju untuk membangun sistem yang lebih transparan dan akuntabel dalam industri pertambangan. "Menteri keuangan setuju dengan gagasan ini, dan minta dibantu supaya kita juga bisa membanguan sistem yang lebih tranparan pada industri pertambangan," kata Dewan Direktur Transparansi Internasional Indonesia (TII) Todung Mulya Lubis seusai bertemu dengan Menkeu di Jakarta, Selasa. Menurut dia, untuk mewujudkan hal tersebut Menkeu telah menugaskan seseorang sebagai penghubung TII dalam memperkuat sistem tranparansi tersebut. "Tadi telah dimintakan seorang `focal point`, satu orang yang dimintakan kontak `person` disini," katanya. Dia menambahkan Menkeu juga mengharapkan agar gagasan tentang tranparansi di industri pertambangan tersebut juga dibicarakan dengan menteri pertambangan dan menteri negara BUMN. Menurut dia tranparansi dan akuntabilitas industri pertambangan di Indonesia saat ini masih sangat rendah. Permintaan untuk membuka informasi seputar perusahaan mereka pun sangat sulit dan terbatas. Untuk itu menurut dia, perusahaan tersebut harus membuka diri kepada masyarakat. "Perusahaan-perusahaan ini mesti mempublikasikan apa yang mereka bayar kepada pejabat pemerintah, pemerintah dan pihak ketiga, tak hanya itu mereka juga harus mempublikasikan apa yang telah dibelanjakan dan apa yang telah diterima," katanya. Apalagi saat ini, menurut dia, hasil pertambangan Indoensia semakin menipis. Ia menjelaskan saat ini cadangan minyak Indonesia 0,5 persen dari cadangan minyak dunia, cadangan gas bumi 1,5 persen, dan cadangan batubara 3 persen. "Dengan cadangan yang sedikit ini, jangan sampai masyarkat Indonesia hanya menikmati sedikit kekayaan pertambangan, sementara investor dan pengusaha pertambangan menikmati lebih banyak kekayaan sumber daya alam tersebut," katanya. Ia menjelaskan bahwa keterbukaan (tranparansi) harus segera dimulai. "Kalau tidak akan sangat sulit mendaptakan kenikmatan dari hasil tambang yang kita miliki," katanya. Untuk itu, pihaknya saat ini menginginkan agar pemerintah dapat segera mengeluarkan peraturan tentang keterbukaan perusahaan pertambangan. "Saya setuju bila dimasukan dalam Undang-Undang tapi hal itu kan akan memakan waktu lama, mungkin dapat melalui peraturan dari menteri terkait dan badan pengawas minyak dan gas untuk menjembatani hal itu," katanya. Sementara itu tranparansi pada industri pertambangan telah digulirkan di berbagai negara. "Pertama kali diinisiasi oleh Mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair yang menuntut adanya transparansi di bidang industri pertambangan," katanya. Inisiasi tersebut bergulir setelah didorong oleh gerakan sipil yang menuntut tranparansi di industri pertambangan, antara lain digerakan oleh koalisi organisasi masyarakat sipil "Publish What You Pay." Inisiatif ini menurut Todung dimulai sebagai antisipasi adanya fenomena kutukan sumber daya alam. "Situasi yang banyak terjadi di negara kaya sumber daya alam dimana akibat tata kelola yang tidak transparan dan akuntabel menyebabkan kekayaan tidak bisa menjadi sumber kesejahteraan masyarakat tetapi justru menjadi ajang korupsi, konflik perebutan sumber daya alam dan pemerintahan diktaktor yang menyengsarakan rakyat serta kerusakan lingkungan," katanya. Sampai saat ini setidaknya telah ada 20 negara yang ikut inisiatif tersebut. Dan inisiatif ini juga didukung oleh Bank Dunia dan IMF.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007