Jakarta (ANTARA News) - Seluruh fraksi DPR akhirnya menyetujui Pengesahan Rancangan Undang-undang RUU) tentang Perubahan Ketiga UU No 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) menjadi UU, kecuali Fraksi PAN yang menyetujui dengan keberatan.
Demikian hasil Sidang Paripurna DPR untuk mengambil keputusan terhadap RUU tentang perubahan ketiga UU No 6/1983 di Gedung DPR/MPR Jakarta, Selasa yang dihadiri oleh Menkeu Sri Mulyani Indrawati.
Fraksi PAN, melalui Ketua fraksinya Zulkifli Hasan, menyampaikan persetujuannya atas amandemen UU tersebut, dengan tiga keberatan, yaitu terkait dengan istilah wajib pajak yang dianggap tidak menciptakan perlakuan yang sama dengan aparat pajak, pembentukan Badan Penerima Perpajakan (BPP) untuk menggantikan Ditjen Pajak, dan terkait dengan proses pengajuan keberatan dan banding oleh wajib pajak.
Sementara itu Menkeu Sri Mulyani Indrawati saat menyampaikan pendapat akhir pemerintah menyatakan, pihaknya memahami keberatan FPAN tentang proses pengajuan keberatan dan banding oleh wajib pajak, namun pemerintah berkeyakinan bahwa prosedur keberatan dan banding tersebut justru memberikan penguatan bagi perlindungan hak-hak wajib pajak dan lebih menjamin rasa keadilan bagi wajib pajak.
"Berkenaan dengan potential loss yang dikhawatirkan, pemerintah melakukan perhitungan secara objektif dan hati-hati sehingga penerimaan negara tidaklah hilang, tetapi memang dapat terjadi penundaan penerimaan," kata Menkeu.
Menkeu menjelaskan, dengan UU sekarang, wajib pajak kecil kemungkinan mencoba mengajukan penundaan pembayaran dengan cara mengajukan keberatan atau banding karena ada resiko sanksi administrasi berupa denda 50 persen dalam hal keberatan ditolak dan 100 persen jika permohonan banding ditolak.
Sedangkan terhadap keberatan FPAN tentang pembentukan BPP sebagai pengganti Ditjen Pajak, Menkeu menjelaskan bahwa pemerintah masih menganggap pengelolaan penerimaan dan pengeluaran negara masih harus dalam satu atap karena masih diperlukannya penyempurnaan dan penyerasian kebijakan, koordinasi dan perbaikan administrasi teknis dan operasionalnya. Selain itu juga diperlukan untuk efektifitas dan efisiensi proses dan hasil.
Sementara terhadap keberatan tentang istilah wajib pajak, Menkeu menjelaskan, pemerintah berpendapat istilah wajib pajak tidak identik dengan pembayar pajak karena istilah wajib pajak memiliki cakupan yang lebih luas, yaitu pemotong pajak, pemungut pajak, dan penyetor pajak.
"Perubahan istilah tersebut akan membawa dampak yang cukup signifikan, disamping istilah `wajib pajak` telah dikenal luas di masyarakat. Jadi apabila diganti dengan istilah `pembayar pajak`, justru akan memerlukan waktu lama untuk memasyarakatkan lagi," katanya.
Menkeu juga menyatakan persetujuannya dengan usulan Fraksi Partai Golkar (FPG) tentang pembentukan komite perpajakan sebagai lembaga pengawas independen dan bertanggung jawab kepada Menkeu.
"Pemerintah memahami pandangan ini dan dengan dibentuknya Komite Pengawas Perpajakan ini diharapkan dapat mengurangi penyalahgunaan dan penyimpangan dalam pelaksanaan pemungutan pajak," katanya.
Sedangkan terhadap harapan Fraksi Partai Damai Sejahtera (FPDS), agar UU KUP itu dapat mendorong perkembangan usaha kecil dan menengah, Menkeu menjelaskan UU ini telah memberikan beberapa kemudahan kepada pengusaha kecil dan menengah, berupa penundaan jatuh tempo pelunasan ketetapan pajak menjadi dua bulan, memberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak tanpa terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan, dan Surat Pemberitahuan Masa yang dapat digunakan sekaligus untuk beberapa masa.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007