Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi I DPR, Hajriyanto Y Thohari, menyatakan pemerintah dan rakyat Indonesia tidak boleh gentar mendengarkan ancaman Amerika untuk membatasi pemberian bantuan militernya kepada Indonesia. Hajriyano Thohari mengatakan hal itu di Jakarta, Selasa, menanggapi pernyataan anggota Partai Demokrat AS, Nita Lowey, yang mengusulkan kepada Kongres Amerika Serikat (AS) untuk melakukan pembatasan pemberian bantuan militer kepada Indonesia. Sikap politisi Demokrat itu muncul setelah terjadinya bentrokan antara anggota Korps Marinir TNI AL dan masyarakat yang berakibat tewasnya empat warga sipil di Pasuruan. Namun kemudian Panglima TNI, Marsekal TNI Djoko Suyanto berkomentar terhadap pernyataan politisi AS itu dengan menegaskan TNI tak mau lagi tergantung kepada satu negara (AS) untuk mengadakan alat utama sistem senjata (a). "Tak apa kalau begitu (ada usul pembatasan bantuan militer AS ke RI). Karena, RI kini juga punya sumber alutsista dari negara lain," tegasnya. Terhadap situasi ini, Hajriyanto Thohari berpendapat, insiden Pasuruan memang harus diusut tuntas secara hukum. "Ini mutlak. Tetapi pengusutan ini gak ada urusannya dengan AS. RI nggak usah mendengarkan ancaman AS yang akan membatasi bantuan militer ke RI. Ini malah lebih baik," tandasnya. Hajriyanto lalu mengungkapkan AS kalau membantu suka mengancam dan sarat dengan kepentingan politik serta bisnis mereka. "Makanya RI nggak usah peduli dengan ancaman AS. Kita sebaiknya malah melepaskan diri dari ketergantungan terhadap AS, dengan antara lain memberdayakan industri pertahanan dalam negeri," tukasnya. Dalam hal pengadaan alutsista, menurut Hajriyanto Thohari, TNI harus mengutamakan industri strategis dalam negeri. "Kecenderungan suka mengimpor harus dihentikan, karena terlalu mahal dan sarat dengan `mark up`. Karena itu, ancaman AS justru harus menyadarkan kita untuk mandiri," ujarnya lagi. Hajriyanto kemudian menunjuk contoh Iran, yang karena diembargo oleh AS dan Barat, justru kini berhasil mandiri. "Kini industri pertahanannya maju pesat. Ironisnya, Iran juga menggunakan putra-putra Indonesia yang dulu bekerja di IPTN atau kini PT DI," ungkapnya. Dia memastikan, Indonesia pasti bisa, asal mau dan segera mulai. "Alutsista produksi PT Pindad, PT DI, Dahana, PAL, dan sebagainya cukup berkualitas dan tidak kalah dengan produksi luar negeri. Karena itu, pemerintah mutlak harus mengembangkan industri strategis," tegasnya. Hajriyanto Thohari juga mengingatkan kriteria laba bagi industri strategis pertahanan jangan disamakan dengan BUMN biasa. "Profit (kentungan, red) bagi industri pertahanan itu harus diberi pengertian yang luas. Bukan hanya keuntungan uang, tapi juga kemandirian, rahasia pertahanan, penyerapan tenaga kerja dan pembangunan SDM nasional," katanya. Jadi, tegas Hajriyanto Thohari, ancaman AS harus menjadi pendorong untuk maju dan mandiri. (*)
Copyright © ANTARA 2007