Solo (ANTARA News) - Badan Narkotika Nasional (BNN) tengah menelusuri keterlibatan oknum pemerintahan terkait produksi dan peredaran obat paracetamol caffein carisoprodol (PCC) di sejumlah daerah di Indonesia.
"Mereka berani produksi sebanyak ini, selain itu mereka juga dipersenjatai, pasti ada keterlibatan oknum," kata Kepala BNN Komjen Budi Waseso pada pers rilis pabrik ilegal PCC di Solo, Senin.
Ia mengatakan mengenai produksi yang dilakukan di salah satu rumah yang tepatnya berada di Kampung Cinderejo Lor, Kelurahan Gilingan, Kecamatan Banjarsari, Solo tersebut, dari hasil operasi yang dilakukan oleh BNN dan kepolisian dalam hal ini Bareskrim dan Polda Jawa Tengah, telah menangkap dan menggeledah beberapa orang.
Menurut dia, penggerebekan di rumah tersebut merupakan rentetan kasus yang terjadi di Kendari, yaitu penyalahgunaan obat PCC yang memakan korban sebanyak 62 siswa sekolah dasar di mana dua di antaranya meninggal dunia.
"Setelah ditelusuri dari mana pil ini, Kepolisian menemukan bahan pil PCC sebanyak 12 ton. Meski demikian, pada akhirnya Polri dan BNN tidak bisa ikut menangani karena masuk kewenangan Kementerian Kesehatan dan BPOM yang sampai hari ini kita tidak tahu nasibnya," katanya.
Meski dianggap tidak memiliki wewenang, dikatakannya, BNN dan Kepolisian terus berupaya menelusuri kasus tersebut sejak lima bulan lalu. Hasilnya adalah ditemukan di beberapa tempat di kalimantan, Sulawesi, dan Jakarta peredaran PCC tersebut.
"Dari situ kami mendalami asal usul obat itu dari mana, siapa yang suplai dan dimana pabriknya, yang akhirnya pabrik obat tersebut kami temukan di Semarang dan Solo," katanya.
Khusus untuk pabrik di Solo, Budi mengatakan sudah merupakan pabrik besar karena berdasarkan catatan sejak bulan Januari hingga saat ini sudah memproduksi sekitar 50 juta butir pil PCC. Ia mengatakan angka tersebut jauh lebih banyak dibandingkan pabrik di Semarang yang memproduksi sebanyak 3 juta pil PCC.
Ia mengatakan artinya untuk produksi pil PCC khusus di pabrik Solo mencapai sekitar 20.000-50.000 butir pil/hari. Dengan produksi tersebut, pelaku mampu mengantongi pendapatan sekitar Rp2,7 miliar/bulan.
Budi mengatakan untuk pil yang diberi merek Zenith tersebut dijual sekitar Rp4.000-5.000/butir.
"Sasarannya memang anak SD dan SMP, jadi dijual dengan harga yang terjangkau oleh mereka. Peredaran obat ini sengaja dilakukan untuk merusak generasi masa depan. Yang pasti dampaknya setelah mengkonsumsi obat tersebut akan memabukkan, apalagi jika dicampur dengan kopi atau minuman keras, maka orang yang mengkonsumsi akan bertingkah seperti Zombie. Obat ini efeknya seperti Flaka," katanya.
Sementara itu, Budi mengatakan pada penangkapan yang dilakukan di pabrik yang ada di Solo, tepatnya ada tujuh orang tersangka dengan dua orang di antaranya adalah penyandang dana dan pemilik pabrik.
"Beberapa pelaku yang sudah kami amankan, di antaranya ada Joni yang diketahui memiliki senjata api, selain itu ada Sri Anggoro alias Ronggo dari Tasikmalaya. Dari paspornya, dia diketahui berkali-kali masuk ke China dan India karena bahan baku pembuatan PCC datang dari dua negara tersebut. Jadi memang Ronggo inilah yang berbelanja bahan baku," katanya.
Terkait hal itu, pihaknya berupaya terus mengembangkan kasus tersebut.
"Mengenai keterlibatan oknum, saat ini sedang didalami. Anggota kami masih bekerja untuk mengungkap itu. Oknum apa, itu nanti kita buktikan," katanya.
Pewarta: Aries Wasita Widi Astuti
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2017