Khartoum (ANTARA News) - Sudan siap untuk menghadiri pembicaraan perdamaian Darfur di bawah penengahan bersama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)-Uni Afrika guna memecahkan konflik yang telah mengusir 2,5 juta orang dari rumah mereka, menteri luar negerinya mengatakan Senin. Pemberontak telah retak menjadi lebih dari 12 kelompok sejak perjanjian damai tahun lalu ditandatangani oleh hanya satu dari tiga kelompok pemberontak yang berunding. Banyak pemimpin telah kehilangan kendali atas komandan mereka di lapangan, menciptakan lingkungan yang kacau-balau dan berbahaya bagi pekerja bantuan dan penjaga perdamaian. "Kapan saja mereka menginginkan pembicaraan perdamaian untuk dimulai kami senantiasa siap," kata Menlu Lam Akol pada wartawan. "Masalahnya adalah pada pihak lainnya." Prakarsa AU-PBB itu mengharapkan pada semua kelompok antri untuk memulai pembicaraan kira-kira Agustus. Bekas kepala program kemanusiaan PBB di Sudan, Manuel Aranda da Silva, mengatakan pemberontak tidak harus bersatu tapi harus memiliki sikap yang menyatukan sebelum pembicaraan. Para pekerja bantuan yang terlibat dalam operasi kemanusiaan terbesar di dunia itu mengatakan perjanjian merupakan prioritas untuk menciptakan gencatan senjata yang efektif. Beberapa orang memiliki kekhawatiran mengenai kemajuan yang lambat untuk membawa semua kelompok ke meja perundingan. Seorang pejabat bantuan, yang menolak disebutkan namanya, mengatakan penengah internasional harus bermarkas di Khartoum untuk dapat sangat efektif, tidak hanya naik pesawat jet masuk dan keluar dalam misi pendek. Utusan khusus PBB Jan Eliasson, seorang Swedia, telah menunjuk Finn Pekka Haavisto untuk membantunya, Namun Haavisto, seperti Eliasson, memutuskan untuk bermarkas di luar Sudan. "Mereka perlu bermarkas di sini untuk terlibat sepenuhnya dalam proses ini dan untuk mengerti semua stakeholder," kata pekerja bantuan itu. Rencana penjaga perdamaian Para pakar internasional memperkirakan 200.000 orang telah tewas dalam lebih dari empat tahun konflik di Darfur, kekerasan yang Washington katakan sebagai pembasmian etnik. Khartoum membantah perkiraan itu dan menyebutkan jumlah orang yang tewas 9.000 orang. Konflik itu memanas ketika pemberontak yang kebanyakan bukan-Arab mengangkat senjata pada awal 2003, menuduh pemerintah pusat mengabaikan wilayah barat yang terpencil, gersang itu. Khartoum memobilisasi milisi untuk memadamkam pemberontakan. Dewan Keamanan PBB berkunjung ke Khartoum Minggu dan mengatakan puas bahwa Sudan telah menerima tanpa syarat pasukan penjaga perdamaian gabungan PBB-AU dari sedikitnya 20.000 tentara dan polisi serta akan merekomendasikan pada majelis umum untuk membiayai misi itu. Menlu Akol mengatakan pertemuan itu konstruktif dan bahwa semua pihak setuju, bahkan mengenai komando dan kendali pasukan, yang telah tidak jelas. "Komandannya adalah seorang Afrika," kata Akol. "Struktur (komando dan kendali) yang akan diikuti oleh PBB adalah orang yang kami setujui yang akan disahkan oleh Uni Afrika." "Jadi kami mengatakan struktur komando dan kendali adalah PBB," ia menambahkan. Beberapa diplomat mengatakan Cina, India dan Pakistan telah mengindikasikan ketertarikan untuk menyumbang pada pasukan itu. Akol mengatakan negara-negara itu adalah teman Sudan, tapi bahwa keputusan terakhir akan terserah pada PBB dan AU. "Mereka telah menyampaikan ketertarikan pada operasi cangkokan itu," kata Akol. "Semua mereka adalah teman Sudan -- saya tidak berpikir kami memiliki sesuatu yang berlawanan dengan mereka." Ia menambahkan bahwa kesatuan pasukan gabungan PBB itu akan mengenakan baret biru dan tentara Afrikam hijau. Namun, semua tentara akan mengenakan lencana hijau AU, demikian laporan Reuters. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007