Medan (ANTARA News) - Kota Medan membutuhkan membutuhkan terobosan besar yang bersifat "revolusioner" jika ingin mengatasi banjir yang kerap terjadi, terutama jika menerima hujat lebat.

Ahli konstruksi dan tata ruang dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Dr Ade Faisal, di Medan, Sabtu, mengatakan, permasalahan di Kota Medan sudah sangat kompleks dan telah terjadi cukup lama.

Kondisi itu disebabkan adanya kesalahan dalam kebijakan pembangunan di Kota Medan yang menyebabkan ibu kota Provinsi Sumatera Utara itu sangat rentan dengan banjir.

Sejak masa kolonial Belanda, Medan sudah memiliki kerawanan terhadap banjir karena secara geogarfis, lokasinya berada di bagian bawah dan menjadi lintas air yang akan mengalir ke laut.

Karena itu, ketika masih menguasai Indonesia dan terkhusus Medan, Belanda membuat sejumlah kebijakan untuk mengatasi kerawanan tersebut sehingga Medan tidak terendam meski menerim curah hujan lebat.

Di antaranya dengan menyiapkan saluran drainase yang lancar sehingga tidak menghambat aliran yang dapat menyebabkan air meluber ke jalanan dan pemukiman masyarakat.

Kemudian, dibangun lorong penyaluran air dalam ukuran besar jika Kota Medan menerima curah hujan dengan intensitas tinggi.

Beberapa lorong air itu ada dibangun di bawah stasiun kereta api dan sekitar Lapangan Merdeka Medan. "Lorongnya cukup besar, setinggi manusia dewasa," katanya.

Namun karena pengaruh pembangunan belakangan ini, lorong air tersebut telah mengalami sendimentasi (pendangkalan), bahkan ada yang sudah ditutup sehingga air tidak dapat dialirkan lagi.

Kemudian, pada masa kolonial dan awal kemerdekaan, ada kebijakan agar pembangunan tidak menumpuk di sekitar inti kota, serta menutup ruang terbuka hijau dan area resapan air.

Kini, kata Faisal, daerah resapan air utama untuk Kota Medan yakni Sibolangut, Pancurbatu, dan Johor telah penuh dengan perumahan yang pola pembangunannya mengurangi potensi resapan air.

Karena tidak mampu diresap lagi, air dari daerah tinggi itu mengalir ke Kota Medan sebelum berakhir ke laut melalui sejumlah sungai yang ada di daerah itu.

Disebabkan lorong tidak ada lagi, ditambah saluran drainase tidak berfungsi dengan baik, maka air yang ada akan melimpah ke badan jalan, pemukiman masyarakat, dan berbagai bangunan yang kondisinya rendah.

Kondisi itu diperparah dengan keberadaan bangunan di berbagai area resapan air sehingga air tidak dapar meresap lagi ke dalam Bumi.

"Pusat resapan air di dataran tinggi ada, lorong air tidak berfungsi, area resapan di kota habis, dan drainase juga tidak berfungsi baik, kemana lagi air mau mengalir," kata Faisal.

Karena itu, menurut ketua Program Studi Konstruksi Faklutas Teknik UMSU tersebut, Pemkot Medan perlu melakukan terobosan besar untuk mengatasi ancaman banjir.

Selain mengurangi pembangunan di inti kota yang dapat mengurangi resapan air, perlu dibangun lorong air di bawah tanah untuk mengalirkan air dalam jumlah besar.

Pemerintah Kota Medan dapat meniru pola pembangunan di Kuala Lumpur, Malaysia yang mampu membuat fungsi ganda saluran bawah tanah.

"Kalau saat normal, salurannya dapat dijadikan operasional transportasi massal, namun saat hujan, digunakan untuk mengalirkan air," katanya.

Sebelumnya, hujan lebat yang terjadi pada Jumat (1/12) menyebabkan banyak area di Kota Medan mengalami banjir pada Jumat malam.

Pewarta: Irwan Arfa
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2017