"Berdakwa lewat sinema itu penting, karena Islam itu adalah universal seluruh aspek kehidupan, maka semua aspek kehidupan harus disentuh," kata Habiburrahman yang akrab disapa Kang Abik saat ditemui di sela-sela Rapat kerja nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) masa kerja tahun 2015-2020 di Kota Bogor, Jawa Barat, Rabu.
Menurut Kang Abik berdakwa melalui sinema sangat potensial, karena sinema bagian dari media yang sangat luas jangkauannya dan sangat penting perannya.
"Maka itu menjadi penting bagi pelaku dakwah manapun untuk menyentuh bidang di sinema," katanya.
Terkait adanya sebagian umat muslim yang alergi dengan sinema atau film, menurut alumni Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir ini, hal itu karena sebagian orang itu belum mengerti tentang urgensi dakwah dengan sinema.
"Sehingga mereka menganggap film itu haram, dan sebagainya," katanya.
Menurutnya perlu disampaikan kepada msyarakat bahwa sinema/film juga seperti yang lainnya tergantung isi dan pemanfaatanya.
"Lihat isi kemasan, dan tidak langsung haram. Buktinya MUI ada komisi budaya, artinya tidak masalah selama ada koridor-koridor," kata Kang Abik yang juga menjabat Ketua Komisi Budaya MUI.
Sebagai novelis Kang Abik telah menerbitkan 15 buku, empat di antaranya telah diangkat ke layar lebar (film) seperti Ayat-ayat cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Ketika Cinta Bertasbih 2, Dalam Mihrab Cinta, dan yang akan segera tayang Ayat-ayat cinta 2 di bioskop pada 21 Desember 2017.
"Mohon doanya semoga lebih sukses dari yang pertama dulu, semoga lebih baik, supaya bisa menjadi film yang bisa menginspirasi masyarakat secara luas," katanya.
Kang Abik juga sudah membuat novel baru berjudul Bidadari Bermata Bening, yang rencananya juga akan difilmkan.
Terkait rendahnya minat baca masyarakat Indonesia yakni 0,001 persen dari 1.000 orang yang membaca, serta peringkat ke 60 dari 61 negara terendah minat baca di dunia, Kang Abik menilai perlu peran semua untuk meliterasikan Indonesia.
Ia mengatakan proses literasi memang tidak instan, proses yang panjang. Terjadi lompatan di Indonesia ketika proses membaca belum tuntas, tiba-tiba masuk ke dunia digital.
"Ini menjadi "pr" besar bersama. Ini harus kerja sama semua lini, tidak hanya satu-dua orang, tapi semua lini," katanya.
Ia mengatakan pemerintah sebagai penjaga republik juga harus memiliki kemauan yang tinggi untuk mencerdaskan masyarakatnya, juga guru dan orang tua.
"Karena anak-anak muda ini perlu mendapatkan satu lingkungan yang mendukung literasi. Memang ini harus gerakan bersama kalau tidak kita akan terus tertinggal," katanya.
Begitu juga dalam menghasilkan buku, Indonesia masih sangat rendah dibanding negara-negara maju seperti Inggris per tahun hampir 100 ribu judul buku.
Terkait pajak royalti penulis yang dikeluhkan Tere Leyye dan Dee Lestari menurut Kang Abik asas keadilan harus ditenggakan. Jika perlu pemerintah memberikan insentif para penulis sebagai bagian yang ikut mencerdaskn bangsa dengan menulis buku, dan sebagainya.
"Ini juga perlu dipikirkan oleh pemerintah, kalaupun tidak bisa berikan penghargaan seperti dulu di zaman Abbasiah, penulis buku dapat emas, setidaknya bagaimana penulis itu nyaman," kata Kang Abik.
Pewarta: Laily Rahmawati
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017