Karangasem, Bali (ANTARA News) - Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) mengimbau masyarakat di Pulau Dewata menggunakan masker dan jaket untuk menghindari dari paparan abu vulkanis yang membahayakan bagi kesehatan tubuh.
"Abu vulkanis tipis dapat tertahan di udara hingga berminggu-minggu dan berbulan-bulan. Ketika terjadi hujan deras maka abu yang ada diudara ini akan mengancama kesehatan," kata Kepala Subbidang Mitigasi Pemantauan Gunung Api Wilayah Timur PVMBG, Devy Syahbana, saat ditemui di Pos Pantau Gunung Agung, Karangasem, Rabu.
Ia menjelaskan, apabila abu yang turun ini jatuh dalam bentuk kering maka akan mengganggu saluran pernafasan yang mengakibatkan gangguan pernapasan akut (ISPA), sehingga mengimbau masyarakat untuk tetap menggunakan masker kemana pun pergi.
Jika abu ini turun dari langit dalam bentuk hujan maka apabila terkena kulit dapat menyebabkan gatal pada kulit, karena sifat abu yang bercampur air hujan ini akan menjadi asam dan korosif sehingga menjadi iritasi pada kulit yang terpapar.
"Kalau abu ini terkena mata akan menjadi perih. karena saat dilihat dari mikroskop, abu ini seperi duri tajam. Untuk itu, kami mengharapkan, saat hujan ini yang bercampur abu agar dihindari kontak dengan air hujan dan menggunakan payung," ujarnya.
Untuk arah abu ini, kata dia, kemungkinan penyebarannya tergantung dari kecepatan maupun arah angin dan untuk lontaran material batu akan keluar secara radial atau kesegala arah. "Saat letusan Gunung Agung yang terjadi Senin (27/11) lalu terdata abu yang dikeluarkan mencapai 2.900 ton," ungkapnya.
Selain itu, dari data satelit terekam, terlihatnya pancaran cahaya merah dari kawah Gunung Agung yang sudah berada di dasar kawah yang semakin tumbuh jumlah lava. Ia mengatakan, dua hari lalu (27/11) lava terekam dari NASA Modis dengan nilai 51 MegaWatt untuk vulkanik radiatic power (VRP).
"Kemudian, Selasa (28/11) malam terekam dari Nasa modis VRP-nya 97 MegaWatt, artinya ada pertumbuhan energi termal di permukaan kawah," ujarnya.
Terlihatnya aktivitas gunung di Indonesia terdeteksi NASA modis, jika mempunyai energi termal cukup signifikan sehingga tertangkap oleh satelit ini. "Di Indonesia, kalau letusannya tidak magmatik, maka NASA modis tidak merekam hal ini," tegasnya lagi.
Selanjutnya, berdasarkan data Citra Satelit Himawari dilihat terjadi pertumbuhan lava di dalam kawah Gunung Agung, yang mengindikasikan jumlah lava dipermukaan kawah semakin banyak dan berpotensi menghasilkan letusan saat terjadi kelebihan tekanan.
"Apabila lava di perut gunung ini terjadi akumulasi tekanan, maka saat melepaskan tekanan akan melontarkan material berupa batu dan abu," ucapnya.
Hingga saat ini, pihaknya masih merekam adanya pertumbuhan lava yang ada di kawah dan gempa vulkani maupun deformasi Gunung Agung yang saat ini masih bergerak. "Sehingga aktivitas Gunung Agung ini saya pastikan belum sepenuhnya tenang," katanya.
Pewarta: Ni Luh Rhismawati
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2017