Jakarta (ANTARA News) - Menyusul terbongkarnya skandal doping yang dilakukan secara sistemik oleh Rusia saat Olimpiade Musim Dingin di Sochi tahun 2014, kini aturan dan sanksi dari pihak-pihak berwenang dalam olahraga internasional terkait penyalahgunaan obat terlarang tersebut semakin ketat.
Sejumlah sanksi tegas telah dijatuhkan oleh WADA, badan antidoping dunia, terhadap individu, federasi olahraga bahkan pemerintahan negara yang telah berbuat curang.
Akibat doping, hampir 90 persen atlet Rusia tidak diperkenankan tampil pada Olimpiade di Rio de Janeiro 2016 dan sejumlah ajang internasional. Sejumlah atlet diperkenankan tampil namun mewakili individu, bukan negara.
Berangkat dari kasus di Sochi itu, kini masalah doping menjadi perhatian khusus dalam penyelenggaraan kegiatan olahraga `multievent`, termasuk pada Asian Games ke-18 yang akan diselenggarakan di Jakarta dan Palembang tahun 2018.
Antisipasi terjadinya doping menjadi tugas penting dari panitia pelaksana Asian Games Indonesia (Inasgoc), karena menyangkut kredibilitas tuan rumah Indonesia sebagai penyelenggara.
Indonesia selaku tuan rumah tidak hanya harus berupaya agar atlet-atletnya sendiri tidak terlibat doping, namun juga melakukan langkah-langkah yang tepat dalam menutup peluang bagi atlet-atlet luar negeri untuk berbuat curang.
Sekretaris Menpora Gatot Dewa Broto juga telah menyatakan keseriusan Indonesia untuk menjadikan Asian Games dan Asian Paragames 2018 bersih dari kasus doping.
"Koordinasi dengan WADA dan Komisi Anti Doping OCA harus kita tingkatkan demi meminimalisir kemungkinan munculnya persoalan doping di Asian Games," kata Gatot.
Kemenpora, katanya, akan terus memberi pemahaman kepada para atlet, pelatih dan pengurus cabang olahraga mengenai doping.
Hal tersebut berkaca dari kasus doping yang terjadi pada PON dan Peparnas di Jawa Barat tahun 2016. Saat itu sebanyak 22 atlet positif menggunakan obat terlarang. Salah satu penyebabnya adalah ketidaktahuan atlet terkait obat-obat ataupun ramuan yang mereka konsumsi.
Di Indonesia juga sudah ada Lembaga Anti Doping Indonesia (LADI), lembaga resmi negara yang salah satu tugasnya adalah mengawasi dan mengantisipasi agar atlet Indonesia tidak terjebak dalam ketergantungan pada doping atau obat-obat terlarang.
Kini menuju Asian Games 2018 yang hanya tinggal sembilan bulan lagi, LADI bersama Inasgoc berjuang mencapai target ?zero doping? yang dapat menjati tolok ukur keberhasilan penyelenggaraan pesta olahraga empat tahunan itu.
Untuk memenuhi standar penangangan doping Asian Games, Komite Medis OCA yang diketuai Dr Jegathesan Manikavasagam, telah menyatakan siap untuk membantu Inasgoc untuk menyukseskan keinginan terwujudnya Asian Games 2018 yang bersih dari doping.
"Kami berkomitmen kerja baik dan kompak agar berhasil. Kami akan awasi dari sisi pengawasan doping dan kesehatan agar event nanti berjalang dengan lancar," ujarnya dalam pertemuan dengan wartawan di Jakarta, Agustus lalu.
Laboratorium terakreditasi
Dokter asal Malaysia itu juga mengingatkan bahwa penangangan doping sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam penyelenggaran event olahraga resmi, termasuk Asian Games.
Penanganan doping Asian Games juga menyangkut biaya yang cukup besar yang harus ditanggung penyelenggara, karena hal tersebut terkait dengan pemenuhan standar OCA untuk kemampuan laborarium dan juga hal-hal teknis lainnya, disamping jumlah sampel yang cukup banyak.
Untuk Asian Games 2018, setidaknya para peraih medali wajib mengikuti tes doping. Berarti setidaknya hampir 2.000 sampel yang harus diperiksa. Itu di luar sampel yang diambil secara acak atau pun pada saat di luar pertandingan.
Indonesia merekomendasikan laboratorium di Doha, Qatar, yang sudah terakreditasi untuk menguji sampel doping atlet-atlet yang berlaga dalam Asian Games 2018 di Jakarta dan Palembang.
"Pertimbangan harga pengujian, proses bea dan cukai, serta frekuensi penerbangan untuk pengangkutan sampel doping menjadi alasan kami memilih laboratorium di Doha," kata anggota Bidang Kesehatan dan Pengendalian Doping Inasgoc Lie Wiena Octoria.
Inasgoc, menurut Wiena, semula mempertimbangkan lima laboratorium di Jepang, Korea Selatan, Thailand, India, dan Doha. "Lalu kami menyaring menjadi tiga laboratorium hingga memilih satu laboratorium yaitu di Doha," ujarnya.
India sempat menjadi pilihan untuk menjadi tempat laboratorium pengujian sampel doping Asian Games 2018.
Namun, laboratorium pengujian sampel doping di India hanya menguji sampel urine dan tidak menguji sampel doping dalam darah atlet.
Meskipun sudah menunjuk Doha, Indonesia harus melaporkan kepada Dewan Olimpiade Asia (OCA) terkait pengajuan laboratorium untuk penyelenggaraan Asian Games ini.
Mengenai jumlah sampel akan diperiksa pada Asian Games 2018 mendatang, karena sudah ada aturan yang ketat dari OCA terkait pengendalian doping.
"Kami bahkan tidak mengetahui jumlah sampel acak yang harus diambil selain sampel doping bagi atlet-atlet yang menerima medali. Tentunya, semua cabang olahraga akan diambil sampel dopingnya," ujar Wiena.
Menjadikan Asian Games bebas dari doping memang menjadi pekerjaaan berat. Misalnya pada Asian Games 2014 di Incheon, dimana tuan rumah Korea Selatan berupa mengikuti standar OCA dalam penangangan doping, tetap saja kecolongan. Saat itu enam atlet terbukti menggunakan obat terlarang.
Kini dengan persiapan yang matang masalah penanganan doping, diharapkan kredibilitas Indonesia dapat tetap terjaga dan menjadi tolok ukur kesuksesan sebagai penyelenggara Asian Games 2018.
Pewarta: Teguh Handoko
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017