Jakarta (ANTARA News) - Berbagai produk yang dikemas dengan menggunakan merek toko (private label) kini semakin menjamur di berbagai supermarket bahkan pasar perkulakan sekalipun. Fenomena ini diduga berkaitan dengan upaya peritel modern untuk mencari keuntungan yang lebih besar karena mereka tidak perlu membayar listing fee dan juga trading term terhadap produk mereka sendiri. Praktek yang sudah menjadi tren dalam dunia bisnis itu dikhawatirkan akan merugikan para pengusaha kecil yang modalnya terbatas. Apalagi seperti yang disampaikan Ketua Asosiasi Pengusaha Pemasok Pasar Retail Modern Indonesia (AP3MI) Susanto ketika dihubungi di Jakarta, Minggu, jika penggunaan merek itu dilakukan dengan mengganti merek yang sudah ada dan tanpa ada pembatasan jumlah produk. Praktek seperti itu diakuinya memang belum ditemukan, namun hal itu bisa saja terjadi dan dilakukan pihak toko modern. "Sah-sah saja mereka toko modern melakukan itu, namanya juga bisnis tapi itu akan sangat merugikan pemilik merek sebenarnya," katanya. Kerugian bisa terjadi karena mereka telah membayar semua ketentuan yang ditetapkan pihak toko seperti trading term dan juga listing fee. Namun kenyataannya produk yang dipajang di toko-toko tersebut jumlahnya sudah berkurang banyak karena mereknya diganti dengan merek toko. Ia juga mengingatkan agar pemerintah mengatur masalah ini dengan melakukan pembatasan jumlah produk yang bisa diberi private label. Pembatasan ini juga untuk melindungi para pemegang merek yang sudah cukup eksis namun modalnya masih terbatas. "Maksimal sebesar 10 persen dari produk yang paling laku," katanya dan menambahkan jika pembatasan ini tidak dilakukan bisa saja terjadi para pemegang merek yang bermodal terbatas akan terlibas dengan produk private label. Di samping itu, lanjutnya, praktek tidak sehat juga bisa terjadi dengan saling mengadu para pemasok produk yang bakal diberi private label. "Toko atau supermarket otomatis akan mencari produk dengan harga-harga yang murah, dan ini juga akan semakin merugikan mereka yang memasok produk tersebut," katanya. Ia juga mengingatkan kepada konsumen terhadap produk private label yang biasanya dijual lebih murah dibanding produk bermerek pabrik. "Biasanya yang dijual lebih murah kualitasnya kurang baik," katanya. Tren private label ini sudah mulai menjamur dalam beberapa tahun ini. Namun ketika itu masih terbatas untuk produk-produk kebutuhan pokok seperti gula, tepung, dan beras serta beberapa produk yang berkaitan dengan kertas pembersih. Namun saat ini produk bermerek sendiri mulai melebar ke berbagai jenis penganan dari permen, kacang, ikan asin, kripik dan lainnya. Produk-produk tersebut biasanya dikemas dalam kemasan plastik dengan nama merek toko bersangkutan. Sementara label yang berisi komposisi bahan, nomer registrasi dari departemen kesehatan serta masa kadaluarsa ditempel dengan kertas. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengingatkan agar semua produk private label yang dikeluarkan toko modern tetap mengacu ketentuan yang ada seperti UU Pangan dan UU Perlindungan Konsumen. "Semua produk yang dikemas harus ada registrasi, karena ini menyangkut masalah keamanan dan informasi. Siapa yang jamin keamanannya kalau tidak ada izin dari departemen kesehatan," kata peneliti YLKI Ilyani Sudarjat.(*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007