Jakarta (ANTARA News) - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie mengkritik perilaku berdemokrasi bangsa Indonesia yang belum sesuai dengan demokrasi itu sendiri. "Kita ini mengidealkan demokrasi, tapi kita nggak suka perbedaan pendapat," kata Jimly, saat menjadi narasumber pada diskusi interaktif di Kantor Pimpinan Pusat (PP) Gerakan Pemuda (GP) Ansor, Jakarta, Sabtu. Padahal, kata Jimly pada diskusi bertajuk "Implementasi Reformasi Konstitusi terhadap Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia" itu, menerima adanya perbedaan pendapat justru merupakan syarat utama tegaknya demokrasi. Selain Jimly, diskusi juga menghadirkan Ketua Fraksi PPP DPR, Lukman Hakim Saifuddin dan Ketua Umum PP GP Ansor yang juga mantan Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal, Saifullah Yusuf. Lebih lanjut Jimly mengemukqkqn proses berdemokrasi yang belum mapan tersebut, salah satunya merupakan akibat masih adanya jarak yang cukup lebar antara hukum yang ada dengan dengan perilaku rakyat Indonesia sendiri. "Pengetahuan dan kesadaran rakyat di negeri ini terhadap aturan hukum yang ada, belum sesuai," kata guru besar hukum tata negara tersebut. Karena itu, tambahnya, agenda besar yang harus dilakukan oleh seluruh elemen bangsa adalah pendidikan dan sosialisasi tentang peraturan perundang-undangan tersebut, utamanya atas Undang-undang Dasar (UUD) 1945 setelah empat kali diamendemen. Dikatakannya, kalau peraturan perundang-undangan lain, seperti Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, boleh diserahkan pada ahlinya yakni sarjana hukum atau pakar hukum. "Tapi kalau UUD tidak bisa, karena itu berkaitan dengan kontrak sosial. Setiap individu rakyat Indonesia berkepentingan dan berhak tahu," katanya. Dikatakannya, terdapat perbedaan yang cukup berarti antara UUD 1945 hasil amendemen dengan UUD 1945 sebelum amendemen. Menurutnya, UUD 1945 hasil amendemen jauh lebih kongkret dan terperinci serta mengatur semua kepentingan masyarakat. "Kalau konstitusi yang dulu `kan terlalu indah untuk diterangkan dan dijelaskan tapi sulit untuk diterapkan. Konstitusi yang sekarang jauh lebih kongkret," katanya. Meski demikian, tambahnya, proses atas reformasi konstitusi tersebut belumlah selesai. Amendemen terhadap UUD 1945 baru saja selesai. Sementara, lanjutnya, hal yang lebih penting adalah bagaimana reformasi konstitusi tersebut dipahami dengan cara yang sama, terutama oleh para penyelenggara negara. Sementara itu Lukman Hakim menyatakan tidak sependapat dengan pihak yang menuding ada aturan di dalam UUD 1945 hasil amendemen yang saling tumpang tindih. "Saya tidak melihat adanya tumpang tindih. Tentu ini tergantung 'kacamata' kita dalam melihatnya. Bahwa ada yang harus disempurnakan, itu memang iya," katanya. (*)

Copyright © ANTARA 2007