Jakarta (ANTARA News) - Asosiasi Produser Indonesia (APROFI) angkat suara mengenai kontroversi film musikal anak "Naura dan Genk Juara" terkait tokoh antagonis yang dituding mendiskreditkan agama Islam oleh Nina Asterly.
Kemudian terdapat petisi yang diinisiasi oleh Windi Ningsih dan sudah ditandatangani oleh hampir 50 ribu orang untuk menghentikan film anak yang melecehkan agama.
Ketua Umum Asosiasi Produser Indonesia (APROFI), Fauzan Zidni, dalam siaran pers menanggapi bahwa film Naura adalah film yang bagus untuk anak, mengajari mencinta alam, mencinta ilmu pengetahuan, tentang kerjasama dan persahabatan.
Fauzan menyayangkan tuduhan yang disampaikan terhadap sutradara Eugene Panji yang dianggap menistakan agama lewat filmnya.
“Saya cuma berharap pihak yang ramai membuat ini menjadi kontroversi untuk menonton kembali filmnya, lalu menilai dengan pikiran jernih. Jangan apa-apa langsung dituduhkan penistaan agama. Tolonglah bisa lebih bijak dengan memisahkan antar karya seorang filmmaker dengan pilihan politik yang pernah dia pilih.” Kata Fauzan.
“Film Naura adalah film yang sehat untuk tontonan anak-anak. Sudah lama Indonesia tidak memiliki film musical, dan Eugine sudah membuat karya yang sangat baik. Harus kita apresiasi.” Kata Ketua Umum Indonesian Film Director Club (IFDC) Lasja F. Susatyo.
“Marilah kita tetap menjadi bangsa yang toleran dan tidak menjadi bangsa pemarah. Penggunaan dalil penistaan agama untuk hal yang paling innocent seperti tontonan anak malah menyuburkan bibit kebencian dari rasa curiga sejak usia dini. Ibu yang bijak adalah kunci dari pendidikan toleransi di negara ini” Tambah Lasja.
Ketua LSF, Ahmad Yani Basuki, dalam pernyataan resminya menyatakan:
"Film ini film musikal (seperti Petualangan Sherina). Berkisah tentang rombongan anak sekolah yang berkegiatan di sebuah hutan konservasi. Di tengah kegiatan itu ada 3 orang penjahat yang melakukan pencurian hewan dari kandang konservasi yang ternyata didalangi si petugas penjaga konservasi itu sendiri.
Tiga orang penjahatnya bercambang dan bertampilan agak kasar, sebagaimana layaknya tampilan penjahat pada umumnya. Satu di antaranya memakai celana pendek bukan celana cingkrang. Oleh karena itu jauhlah dari gambaran saudara-saudara kita yang sering dipandang sebagai radikal/ teroris, karena jenggot dan model celananya.
Sebagai film setting Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim, bisa-bisa saja penjahatnya beragama Islam. Sama wajarnya jika dalam negara yang mayoritas penduduknya non muslim penjahat non muslim. (Seperti dalam film Home Alone misalnya)
Ketika si penjahat di tengah malam di hutan lagi ketakutan karena mengira ada hantu, salah satunya berdoa. Karena dia muslim dia bacanya doa Islam. Tapi yang dibaca salah 'comot', yaitu doa mau makan. Karena itu ditegur temannya, doanya salah, doa makan. Ketahuan penjahatnya muslim- ya karena dia baca doa itu, yang cenderung latah-latah juga. Tapi tidak ada penggambaran spesifik atau kesan penegasan bahwa muslim itu jahat.
Tidak bedanya jika ada film tentang kasus korupsi lalu koruptornya di dalam bui berdoa atau shalat, itu sama sekali tak berarti merepresentasikan Islam/umat Islam itu jahat. Bagi LSF, tidak terlihat adanya bagian yang secara jelas mendiskreditkan Islam?
Jika dihubung-hubungkan dengan penista agama, rasanya terlalu jauh berspekulasi. Kita tahu kalo penjahatnya muslim pun ya hanya karena dia baca doa itu. Ketika akhirnya si penjahat terkepung, salah satunya memang membaca istighfar. Tetapi sekali lagi, bagi LSF, itu tdak serta merta menggambarkan pelecehan dan penistaan terhadap Islam.
Untuk memahami film "Naura dan Genk Juara", kiranya memang perlu menonton langsung filmya. Dan akan semakin baik kalau pernah menonton film Petualangan Sherina, Home Alone dan atau Jenderal Kancil yang diperankan Ahmad Albar di masa kecilnya dahulu."
Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2017