Surabaya (ANTARA News) - "Siapa bilang rakyat jelata tidak bisa menipu?" Itu pertanyaan dramawan Putu Wijaya dalam pementasan "Cipoa", pada penutupan Festival Seni Surabaya (FSS) 2007 di Gedung Balai Pemuda Surabaya, Jumat (15/6) malam.
"Cipoa", yang dimainkan Putu Wijaya bersama anak asuhnya di Teater Mandiri serta didukung aktris Rieke Dyah Pitaloka itu memang bercerita tentang aksi tipu-tipu oleh semua golongan masyarakat, baik pemimpin, pedagang, maupun rakyat jelata.
"Pada pementasannya itu, Putu Wijaya tidak hanya menyentil kalangan penguasa atau pengusaha, tapi juga rakyat jelata. Rakyat jelata yang biasanya terpedaya juga bisa `cipoa` atau menipu," kata Koordinator Program FSS 2007, Riadi Ngasiran.
Bahkan, katanya, dalam pentas itu, tipuan rakyat jelata mungkin lebih sadis dan tragis. Lingkaran setanpun berputar yang kesimpulannya mengerikan. Jujur ternyata membawa malapetaka. Karena itu orang kemudian lebih bahagia ditipu daripada dijujuri.
Pentas itu dimulai dengan adegan pembuka antara Putu Wijaya dengan Rieke yang keduanya berkeinginan melihat keadaan di Indonesia.
Dikisahkan ada serombongan pekerja yang diperintah oleh juragannya untuk mencari harta karun. Para pekerja mulai pagi hingga larut menggali tanah di dalam gua untuk mencari harta karun.
Putu yang berperan sebagai juragan, memperalat seorang mandor untuk mengelabui para pekerja.
Namun pada suatu malam, si juragan datang dan menggali sendiri tanah di gua itu. Ditemukanlah harta karun berupa bongkahan batu emas sebesar badan sapi dewasa. Emas itu kemudian diangkat oleh juragan bersama isteri dan salah seorang temannya.
Suami dan isteri juragan tampak kaget ketika mandor datang dan melihat mereka mengelilingi bongkahan emas besar itu. Si juragan mulai berbohong kepada mandor, namun setelah diingatkan oleh isterinya, akhirnya ia bercerita apa adanya.
Tapi juragan meminta kepada si mandor untuk berbohong kepada pekerjanya dengan mangatakan bahwa harta karun itu belum ditemukan. Siang malam para pekerja itu menggali tanah, namun belum juga menemukan harta yang dicarinya.
Suatu ketika si mandor ketahuan oleh pekerja bahwa ia telah berbohong karena para pekerja tahu bahwa harta itu sudah ditemukan. Si mandor menjadi sasaran pukulan para pekerja karena ia membela juragannya.
Namun agaknya keberuntungan mulai akan berpihak pada para pekerja. Suatu hari mereka menemukan harta karun lain yang sama dengan batu emas milik juragannya.
Para pekerja yang merepresentasikan rakyat jelata itu kemudian mulai belajar berbohong. Mereka sepakat untuk tidak menceritakan penemuan emas itu ke juragannya. Namun ada masalah karena si mandor sudah berjanji kepada dirinya sendiri untuk tidak berbohong lagi.
Kejujuran si mandor menjadi masalah karena para pekerja tidak terima. Meskipun para pekerja mengatakan bahwa bongkahan emas itu batu biasa yang ditutupi kain, namun si juragan dan isterinya sudah mengundang pembeli dari luar negeri.
Emas itu kemudian dijual ke luar negeri dengan harga batu. Para pekerja menangis dan bercerita yang sebenarnya bahwa batu itu adalah emas. Saat itulah muncul sindiran larinya aset bangsa ini ke luar negeri dengan harga murah.
Pentas itu berakhir dengan ajakan semua pemain untuk tidak berbohong. Mereka bertekad tidak berbohong kepada atasan, kepada rakyat dan kepada suami atau isteri.
Pentas yang sering ditingkahi aksi kocak dari Rieke dan pemain lainnya itu diakhiri dengan pengibaran bendera merah dan bendera putih. Cerita itu memang untuk menyindir semua elemen bangsa ini agar tidak suka berbohong.
Pementasan yang menyedot perhatian penikmat seni di Surabaya itu juga didukung oleh sejumlah pemain, yakni Kribo, Alung, Wendy, Ucok, Fien, Umbu, Bei, Chandra, Kardi, Rino, Agung, Kleng, Diyas, Sonny danm Jalu.(*)
Pewarta: Oleh Masuki M Astro
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007