"Screening dengan kamera retina digital. Screening lebih luas, dicapture, dikirimkan ke ahlinya untuk dibaca. Prosedur ini secara waktu dan keselamatan bayi lebih efisien," tutur spesialis mata dari RSCM, Prof. Dr. dr Rita Sita Sitorus, SpM (K), di Jakarta, Jumat.
Setelah screening dilakukan, dokter akan melihat derajat keparahan ROP jika memang ada lalu menentukan tindakan. Pada tahap awal atau stadium 1 bayi tak perlu menjalani terapi. Namun dia bukan berarti berhenti menjalani screening.
"ROP ada stadiumnya (1,2,3,4). Kalau ringan tidak butuh terapi. Tetapi bukan berarti tidak diapa-apakan. Harus terus diobservasi sampai dokter menyatakan berhenti pemeriksaan," kata Rita.
"Untuk stadium 3, 4 tindakan bisa laser, suntikan obat atau operasi bedah retina. Makin besar stadium makin berat," sambung dia.
Dalam kesempatan itu, spesialis anak dari RSCM, dr. Rinawati Rohsiswatmo, Sp.A (K) mengingatkan, screening dan penanganan harus dilakukan maksimal usia bayi 42 minggu (terhitung sejak dalam kandungan) agar ROP tak berkembang menjadi kebutaan permanen.
"Gangguan mata ROP dapat terjadi dalam tahap ringan, dimana dapat dilakukan perbaikan secara spontan, namun pada kasus yang berat dapat mengakibatkan lepasnya retina dan pada akhirnya mengakibatkan kebutaan permanen," tutur dia.
Agar bayi prematur bisa segera menjalani screening, pihak RSCM bekerjasama dengan rumah sakit lainnya yakni RS Budiasih, RS Tarakan, RS Pasar Rebo dan RS Koja secara berkala melakukan pemeriksaan pada bayi-bayi di rumah sakit dengan membawa alat ini.
Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2017