Jakarta (ANTARA News) - Perusahaan financial technology (fintech) dinilai bisa jadi harapan bagi para pelaku Usaha Kecil Mikro dan Menengah (UMKM) dalam mengembangkan usahanya. Salah satunya terkait bagi pelaku UMKM untuk mengakses pembiayaan.

"Fintech berupa P2P (peer to peer) lending membuat UMKM yang unbankable menjadi terakses. Pada ujungnya, fintech ini bisa membuat kapasitas usaha mengalami peningkatan," kata pemerhati UMKM, William Henley dari Indosterling Capital di Jakarta, Kamis.
Dalam mendukung dan menopang pelaku UMKM, kata William, pemerintah sebenarnya memiliki sejumlah program. Salah satunya adalah Kredit Usaha Rakyat (KUR). Sejak diluncurkan pada 2007, kata dia, realisasi penyaluran KUR maupun debitur terus meningkat.
Pada 2016, besaran bunga KUR tercatat 9,0 persen per tahun. Selama tahun lalu, William mencatat realisasi penyaluran KUR mencapai Rp 94,4 triliun dari target Rp 100 triliun. Sementara untuk tahun ini, realisasinya sampai dengan Agustus 2017 Rp 61,14 triliun dari target Rp 110 triliun dengan jumlah debitur 2,7 juta.
"Sayangnya para pelaku UMKM yang hendak mengakses KUR melalui bank, harus memiliki salah satu komponen penting, yaitu agunan. Ketiadaan agunan membuat mereka menjadi kesulitan untuk memperoleh modal," kata William dalam keterangannya.
Mengutip hasil penelitian Institute for Development of Economics and Finance, William mengatakan sekarang ini masih ada sekitar 60 juta pelaku UMKM. Dari jumlah tersebut ternyata baru sebanyak 11 juta pelaku UMKM yang bankable. Sisanya sebesar 49 juta pelaku UMKM masih belum unbankable.
Masih berasal dari data yang sama, William mengatakan, total kebutuhan pembiayaan nasional untuk UMKM sebesar Rp 1.649 triliun. Sementara kapasitas perbankan hanya Rp 660 triliun. Dengan begitu terdapat gap Rp 989 triliun.
Masyarakat yang belum terliterasi dengan baik ditambah besarnya kebutuhan pembiayaan nasional untuk UMKM, menurut William, menjadi peluang bagi pelaku usaha fintech. "Tapi ingat jangan sampai fakta-fakta ini, dijadikan motivasi perusahan fintech untuk mengeruk keuntungan besar semata," katanya.
Lebih lanjut William mengatakan kehadiran teknologi telah menjadikan layanan keuangan menjadi lebih murah, cepat, dan mudah. Tiga elemen ini, kata William, yang terkadang sulit diperoleh ketika pelaku UMKM mendatangi bank. "Di sinilah peran fintech bisa menjadi solusi bagi pengembangan usaha UMKM di masa mendatang," ujarnya.
Namun demikian William menyadari bahwa sampai kini masih ada tantangan untuk memaksimalkan peran fintech dalam mendukung UMKM. Tantangan mendasar itu adalah akses masyarakat Indonesia terhadap layanan keuangan.

"Berdasarkan survei yang pernah dilakukan Otoritas Jasa Keuangan, baru 67,8 persen dari masyarakat Indonesia yang sudah menggunakan produk keuangan. Itu artinya masih ada 32,2 persen yang belum menggunakan produk keuangan," ujarnya.


Sertifikat PIRT


Sementara itu jumlah pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, yang mengantongi sertifikat izin Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT) hingga kini mencapai 887 pelaku usaha.


"Jumlah tersebut, dipastikan akan bertambah karena kesadaran pelaku usaha untuk mengurus PIRT semakin meningkat," kata Kepala Bidang Sumber Daya Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Kudus Mustianik di Kudus, Rabu.

Apalagi, lanjut dia, saat ini masih banyak pelaku usaha di bidang makanan dan minuman yang belum mengantongi sertifikat PIRT.

Ia mengatakan, DKK terus mendorong para pelaku UMKM yang bergerak di bidang usaha pembuatan makanan maupun minuman untuk mengurus sertifikat PIRT sebagai jaminan produknya aman dikonsumsi.

Apalagi, lanjut dia, pengurusan sertifikat PIRT tersebut tidak dikenakan biaya atau gratis.

Dalam rangka membantu memudahkan mereka dalam mengurus PIRT, kata dia, DKK juga melakukan sosialisasi tentang tata cara pengurusan PIRT serta pelatihan tentang cara produksi pangan yang baik (CPPB) terlebih dahulu, sehingga nantinya bisa memenuhi persyaratan untuk mendapatkan sertifikat PIRT.

Kegiatan tersebut, kata dia, digelar hari ini (15/11) dan diikuti 34 pelaku usaha makanan dan minuman dari berbagai daerah di Kudus.

Kegiatan tersebut, lanjut dia, bertujuan untuk menghasilkan pangan yang bermutu, aman dikonsumsi, memberikan prinsip dasar produksi pangan yang baik, serta mengarahkan industri rumah tangga agar memenuhi berbagai syarat produksi yang baik.

Tujuan lainnya, yakni mendorong pelaku usaha untuk memiliki tempat produksi yang representatif dan bersih.

"Kami ingatkan mereka, lokasi produksinya juga harus jauh dari tempat pembuangan sampah untuk memberikan jaminan produk makanannya tidak terkontaminasi sesuatu yang berbahaya," ujarnya.

Selain itu, lanjut dia, karyawannya juga harus selalu menjaga kesehatan dan kebersihan serta saat bekerja harus memakai perlengkapan kerja.

Hal itu, lanjut dia, bertujuan untuk memberikan jaminan bahwa produk yang dihasilkan aman dari berbagai pencemaran.

"Mereka juga mendapatkan penjelasan soal bahan bakunya, serta bahan tambahan makanan yang diperbolehkan," ujarnya.

DKK Kudus juga menyosialisasikan Undang-Undang Kesehatan nomor 23/1992 dan UU Pangan nomor 7/1996.

Pelaku usaha yang tidak mematuhi peraturan tersebut, bisa diancam pidana penjara dan atau denda sesuai kesalahannya.

Pelaku usaha yang mengurus PIRT juga akan diinspeksi secara mendadak ke tempat usahanya, guna memastikan mereka layak mendapatkan sertifikat tersebut.

Dalam peninjuan tersebut, akan dilihat bangunannya, bahan baku yang digunakan untuk membuat makanan atau minuman, tenaga kerjanya, alur produksinya, tingkat kebersihan tempat usaha serta pembuangan limbahnya.

Hal terpenting, kata Mustianik, bahan baku yang digunakan harus aman dan kebersihan tempat produksinya sebagai syarat utama menciptakan produk yang higienis.

Setelah mengantongi izin PIRT, DKK Kudus juga akan melakukan pengawasan dan pembinaan di tingkat produksi di perusahaan maupun di pasarannya.

Pewarta: Akhmad Nazaruddin
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2017