Yogyakarta (ANTARA News) - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyatakan anak pelaku kejahatan sebenarnya adalah korban, bisa karena ketidakmampuan orang tua dalam mengasuhnya atau kemiskinan.
"Anak walaupun pelaku kejahatan sebenarnya adalah korban. Paling tidak masalah pengasuhan dari orang tua yang tidak mampu menangani anak itu," ujar Sekretaris Kementerian PPPA Pribudiarta Nur Sitepu usai membuka rapat koordinasi teknis mengenai pembangunan perlindungan anak di Yogyakarta, Rabu malam.
Ia menilai selain kesalahan asuh dan kemiskinan, lingkungan tempat tinggal misalnya daerah tertinggal, terpencil atau perbatasan dapat menjadi akar masalah.
Meski begitu, Pribudiarta menekankan kejahatan anak harus diselesaikan agar tingkat kejahatan yang dilakukan tidak meningkat.
"Dia melakukan tindakan kriminal kecil-kecil, ini yang memang harus diselesaikan karena kalau dibiarkan nanti akan meningkatkan kualitas kekerasan yang dilakukan," tutur dia.
Selain membuat jera, lapas anak yang menjadi lembaga pembinaan khusus dapat mengembangkan keahlian anak sehingga siap kembali ke masyarakat.
Stigma buruk pada anak yang pernah melakukan kejahatan juga perlu dihapus agar anak dapat kembali ke masyarakat, bukan justru dikucilkan.
"Masyarakat menyadari anak berhadapan dengan hukum walaupun dia pelaku sebenarnya dia hanyalah korban, jadi konsep pemahaman itu yang harus dipahami oleh pemangku kepentingan," kata dia.
Ada pun mengenai anak yang berhadapan dengan hukum diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Salah satu yang diatur dalam UU tersebut adalah mengenai keadilan restoratif dan diversi untuk menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum agar kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar.
Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2017