Pekanbaru (ANTARA News) - Mayoritas orang mungkin tidak akan menyangka apabila sebuah tugu megah yang dibangun sebagai simbol pengingat akan pentingnya integritas untuk melawan korupsi, justru menghasilkan skandal rasuah berjamaah. Ironisnya, itu benar-benar terjadi di Provinsi Riau.
Monumen tinggi menjulang berbentuk keris yang diberi nama Tugu Integritas Antikorupsi itu, awalnya membawa kebanggaan bagi masyarakat Riau yang sudah jengah dengan stigma buruk korupsi di daerah tersebut. Bahkan, sampai ada plesetan memilukan yang populer bahwa RIAU adalah akronim dari "Rusak Iman Akibat Uang".
Bagaimana mungkin warga Riau tidak merasa malu, karena tercatat sudah tiga gubernurnya masuk penjara karena korupsi. Daftar "pesakitan" makin panjang karena masih banyak anggota dewan, bupati, dan kepala dinasnya yang tersandung korupsi akibat rasuah dalam perizinan kehutanan, pendanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) 2012, hingga kasus suap pembahasan APBD Riau.
Ketika Gubernur Riau Arsyadjuliandi Rachman mengusulkan pembangunan tugu antikorupsi, itu seperti membawa harapan bahwa pemerintahan yang sekarang berkomitmen kuat untuk melawan korupsi, yang sudah menjalar bagai kanker didaerah berjuluk "Bumi Lancang Kuning" itu. Apalagi tugu itu dikelilingi dengan taman indah di Jl. Ahmad Yani, Kota Pekanbaru, yang diberi nama Ruang Terbuka Hijau (RTH) Tunjuk Ajar Integritas. Tempat itu setiap hari membuat warga setempat gembira karena bisa digunakan untuk berolahraga dan tempat rekreasi gratis.
Rasa bangga itu makin membuncah ketika Kota Pekanbaru menjadi tuan rumah peringatan Hari Anti Korupsi Internasional (HAKI) pada Desember 2016. Ketua KPK Agus Rahardjo, Jaksa Agung HM Prasetyo, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo serta sejumlah utusan dari kementerian, utusan berbagai BUMN, BUMD, dan sejumlah bupati dan wali kota, meninjau tugu antikorupsi itu.
Ketua KPK Agus Rahardjo juga bangga melihat tugu megah itu dan sumringah saat berfoto bersama di depannya. Bahkan, Agus mengatakan pembangunan tugu integritas yang menghabiskan anggaran APBD Riau hingga setengah miliar rupiah tersebut tidak menjadi masalah.
"Tidak ada masalah telah menghabiskan anggaran segitu, selagi itu sesuai dengan aturan dan ketentuannya. Yang menjadi masalah apabila pembangunan tugu tersebut harganya tidak sesuai atau sengaja menaikkan harga dan pemenang tender sudah ditentukan," ujar Agus kepada wartawan usai meresmikan tugu itu.
Penetapan 18 Tersangka
Namun, sejarah tampaknya akan mencatat lain akan keberadaan tugu itu. Pada awal November 2017, Kejaksaan Tinggi Riau mengungkap adanya skandal korupsi dan menetapkan 18 tersangka proyek RTH Tunjuk Ajar Integritas termasuk tugu antikorupsi.
Salah satu tersangka merupakan staf ahli Gubernur Riau, Dwi Agus Sumarno. Saat kasus itu bergulir, Dwi Agus menjabat Kepala Dinas Cipta Karya dan Bina Marga Provinsi Riau, yang berperan sebagai pejabat pengguna anggaran. Dwi juga merupakan menantu dari mantan Gubernur Riau Annas Maamun, yang kini menjalani hukuman penjara akibat kasus korupsi.
Kemudian 17 tersangka lain terdiri dari 12 Aparatur Sipil Negara (ASN), dan lima dari pihak swasta. Lima orang tersangka dari pihak swasta adalah dua orang kontraktor berinisial K dan ZJB, kemudian tiga orang dari konsultan pengawas, yaitu RZ, RM dan AA.
Sementara itu, lima PNS dari kelompok kerja unit layanan pengadaan (ULP), yaitu Ketua Pokja IS, Sekretaris Pokja H, dan tiga anggota, DIR, RM, dan H. Lima tersangka lain masih berasal dari pegawai negeri, yang berperan sebagai pejabat penerima hasil kerja di Dinas Cipta Karya dan Bina Marga, yaitu Ketua Tim PHO berinisial A serta dua anggotanya, S dan A, lalu dua dari anggota panitia Tim PHO, R dan ET. Dua tersangka lain adalah pejabat pembuat komitmen berinisial Z dan kuasa pengguna anggaran, HR.
Penyidik kejaksaan menaksir kerugian negara mencapai Rp1,23 miliar dari proyek senilai Rp8 miliar tersebut. Anggaran untuk proyek tersebut berasal dari APBD Riau tahun 2016. Proyek itu diduga telah direkayasa dalam proses tender dan indikasi pengaturan "fee" proyek, sehingga ada kerugian negara sebesar itu.
"Ini hitungan kerugian minimal yang kita lakukan diperkirakan Rp1,23 miliar. Untuk hasil hitungan final dari ahlinya BPKP masih belum keluar dan kita tunggu bersama-sama," ungkap Asisten Tindak Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Riau Sugeng Riyanta di Pekanbaru.
Penyidik Kejati Riau menemukan indikasi pengaturan tender proyek penuh rekayasa dokumen pengadaan, sehingga kerugian negara timbul akibat pemalsuan itu. Dari bukti juga ditemukan bahwa para pejabat yang harusnya sebagai pengawas, ternyata secara langsung atau tidak langsung terlibat atau punya kepentingan dalam proyek tersebut.
"Jadi selain dikenakan ancaman pasal tindak pidana korupsi, tersangka pegawai negeri atau ASN ini juga terancam Pasal 9 UU No.20/2001 yakni PNS yang memalsukan dokumen. Kemudian larangan bagi PNS terlibat secara langsung atau tidak langsung," katanya.
Membuka "Kotak Pandora"
Dalam catatan Antara, proyek RTH Tunjuk Ajar Integritas termasuk di dalamnya tugu antikorupsi, memang terdapat kejanggalan sejak awal. Tidak lama setelah peresmian oleh Ketua KPK Agus Rahardjo, Pemprov Riau tiba-tiba menutup RTH itu untuk umum dan dipagari dengan seng pada Januari 2017. Dwi Agus Sumarno saat itu beralasan penutupan dilakukan selama enam bulan, karena proyek tersebut belum diserahterimakan oleh kontraktor ke Pemprov Riau.
Kemudian, tepatnya pada 27 April 2017, Kejaksaan Tinggi Riau menyatakan hasil dari penyelidikan ditemukan bukti permulaan ada indikasi korupsi pada proyek dua RTH Pemprov Riau di Kota Pekanbaru, yakni RTH Tunjuk Ajar Integritas dan RTH Kaca Mayang. Tidak lama berselang, Gubernur Riau Arsyadjuliandi Rachman mendadak menonaktifkan Dwi Agus Sumarno dari jabatannya, dan menggesernya menjadi staf ahli gubernur.
Ketika menetapkan 18 tersangka kasus RTH Tunjuk Ajar Integritas, Aspidsus Kejati Riau Sugeng Riyanta juga mengungkap adanya korupsi lainnya menggunakan motif serupa. Sebabnya, penyidik menemukan indikasi kuat dugaan korupsi proyek tersebut merupakan bagian dari skema kejahatan dalam proyek dan tender di Pemprov Riau, yang terindikasi ada permainan pengaturan proyek. Kerugian negara muncul karena rekayasa dan pemalsuan untuk mencari "fee" atau keuntungan melebihi aturan yang biasanya 10-15 persen.
Bisa jadi pengungkapan kasus RTH dan tugu antikorupsi tersebut ibarat mitologi Yunani tentang kisah membuka "kotak pandora", yang akan menguak praktik korupsi lainnya di proyek-proyek Pemprov Riau. Meski begitu, Kejati Riau sepertinya tidak ingin berspekulasi.
"Nanti kita lihat di pengadilan. Yang pasti upaya mencari keuntungan itu dari sisi Tipikor adalah pidana," ujar Sugeng.
Perdebatan mengenai kasus itu pun makin ramai, meski persidangannya belum dimulai. Sebanyak sembilan ASN dari 18 tersangka kasus tersebut, akan mengajukan praperadilan. Kesembilan orang yang dibela itu diantaranya adalah Dwi Agus Sumarno.
"Ini jarang terjadi dan mungkin tidak pernah, sampai staf terbawah bahkan yang baru berstatus ASN turut menjadi tersangka. Kita praperadilan membela sembilan orang ASN," kata pengacara para tersangka, Razman Arif Nasution di Pekanbaru, pekan lalu.
Menurut Razman, yang menjadi aneh dalam penetapan tersangka itu seharusnya ada tersangka utama. Pelaku utama suap harusnya dapat dibuktikan, namun dari pernyataan dan surat pemberitahuan yang dikirimkan Pidana Khusus kejati Riau hanya memuat unsur persekongkolan.
"Harusnya ada penerima dan pemberi suap. Apalagi pejabat pelaksana teknis kegiatan tidak masuk, tapi staf Pokja ULP dan tim penerima hasil pekerjaan masuk jadi tersangka," ungkapnya.
"Kalau ini merupakan persekongkolan bagaimana caranya, kerugian dari mana dasar menghitungnya, harus disebut juga. Ini benar-benar tender, pemenangnya mana yang paling murah itu yang dimenangkan," lanjut Razman.
Sang pengacara juga bersikukuh bahwa Gubernur Riau Arsyadjuliandi Rachman tidak bisa lepas tangan dari kasus tersebut. Hal ini terkait kenapa dalam satu mata anggaran proyek RTH, juga masuk tugu antikorupsi di dalamnya, sehingga dianggap membuat sesuatu yang tidak dianggarkan dan disahkan DPRD.
"Gubernur Riau, Arsyadjuliandi Rachman tidak boleh lepas tangan, tak bisa dia berdiam diri. Karena memanggil Dwi selaku kepala dinas untuk buat ini (tugu antikorupsi)," katanya.
Ia menjelaskan awalnya memang hanya ada satu mata anggaran, yakni pembanguanan RTH dilahan eks Kantor Dinas Pekerjaan Umum Riau senilai Rp8 miliar. Lalu kemudian di tengah perjalanannya muncul permintaan Gubernur Riau untuk pembuatan tugu integritas, kepada Dwi Agus.
"Dwi berpikir tentu mau tak mau ikut karena ini perintah gubernur. Maka beliau memanggil staf terkait dan akhirnya dilaksanakan dan mencari orang mendesain dalam bentuk tugu," ungkapnya.
Gubernur Riau, Arsyadjuliandi Rachman, memilih tidak ingin berpolemik dalam kasus itu demi menghormati proses hukum yang sedang dilakukan oleh Kejati Riau. Politisi Partai Golkar itu justru berpesan agar kasus ini harus jadi pembelajaran berharga bagi ASN di Riau.
"Ini pelajaran, Insya Allah akan membuat kawan-kawan betul-betul mempunyai komitmen dalam melaksanakan tugasnya lebih baik lagi kedepan," kata pria yang akrab disapa Andi Rachman ini.
Selain sebagai pembelajaran, Andi mengatakan kasus tersebut sebagai cobaan bagi institusi Pemprov Riau. Karena itu, ia berharap skandal rasuah ini tidak mengendorkan semangat ASN Riau untuk tetap melakukan reformasi birokrasi dan menegakkan integritas.
"Sekarang apa yang terjadi itu cobaan bagi kita, untuk itu ASN Riau harus lebih baik lagi ke depan," pintanya.
Sementara itu, Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Riau meminta Kejaksaan Tinggi mengusut tuntas dugaan korupsi tersebut. Kejati Riau harus berani membongkar beberapa oknum yang diduga terlibat.
Terkait tugu antikorupsi, Fitra Riau menyatakan sudah mengingatkan dari jauh hari sebelum dilaksanakannya agenda Hari Anti Korupsi 2016, bahwa proyek itu tidaklah penting dan mubazir, alias buang-buang duit.
"Jika hari ini ditemukan aroma korupsi dalam pelaksanaan pembangunannya, pihak kejati Riau harus serius mengusut secara tuntas dan transparan kepada publik siapa saja yang terlibat," kata Koordinator Fitra Riau, Usman.
Tentunya publik berharap ada kepastian hukum untuk menuntaskan skandal korupsi berjamaah tersebut. Masyarakat Riau yang terutama sangat mendambakan pembangunan daerah bisa benar-benar bersih dari korupsi. Karena kalau tugu antikorupsi saja sudah berani dikorupsi, apalagi proyek-proyek lainnya.
Pewarta: Bayu Agustari Adha, Febrianto Budi Anggoro
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2017