Jakarta (ANTARA News) - Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyatakan terdapat tujuh poin isi surat terkait ketidakhadiran Setya Novanto pada pemanggilan ketiga untuk diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Anang Sugiana Sudihardjo dalam penyidikan dugaan korupsi KTP-e.
"Pagi ini, KPK menerima surat dari Setya Novanto dengan kop Surat tertulis "Drs Setya Novanto, Ak., Ketua DPR-RI" tertanggal 13 November 2017," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Senin.
Febri menjelaskan surat Setya Novanto itu berisi lima lembar melampirkan satu lembar surat pimpinan daerah Partai Golkar Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) tertanggal 1 November 2017.
"Perihal: Undangan HUT Golkar ke-53 tingkat Provinsi NTT. Total surat dan lampiran sebanyak enam lembar," kata Febri.
Setya Novanto sudah tiga kali tidak hadir dalam pemanggilan KPK sebagai saksi untuk Anang Sugiana Sudihardjo.
Pada pemanggilan pertama Senin (30/10) Setya Novanto juga tidak memenuhi panggilan KPK sebagai saksi karena ada kegiatan lain di daerah pada masa reses DPR RI.
Sementara pada pemanggilan kedua dan ketiga pada Senin (6/11) dan Senin (13/11), Setya Novanto menyatakan pemanggilan terhadap dirinya harus ada izin tertulis dari Presiden.
Menurut Febri, surat Setya Novanto kali ini terdiri dari tujuh poin, yang pada pokoknya berisikan sebagai berikut:
1. Surat panggilan dari KPK telah diterima pada Rabu, 8 November 2017 untuk menghadap penyidik KPK sebagai saksi dalam penyidikan perkara tindak pidana korupsi pengadaan KTP-elektronik yang diduga dilakukan oleh Anang Sugiana Sudihardjo.
2. Dalam surat panggilan tersebut secara jelas dan tegas disebutkan memanggil Setya Novanto, pekerjaan: Ketua DPR-RI dengan alamat kantor Gedung DPR-RI dan rumah di Jalan Wijaya dan seterusnya.
3. Bahwa berdasarkan:
- Pasal 1 (3) UUD 1945: Negara Indonesia adalah Negara Hukum
- Pasal 20A huruf (3) UUD 1945: selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain UUD ini, setiap anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan serta hak imunitas.
- Pasal 80 UU Nomor 17 Tahun 2014 hak anggota dewan huruf (h) imunitas
- UU Nomor 10 Tahun 2004 pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pasal 7 Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan adalah sebagai berikut:
1. UUD 1945
2. UU/Peraturan Pemerintah.
Pengganti UU
3. Peraturan Pemerintah
4. Peraturan Presiden
5. Peraturan Daerah
4. Berdasarkan ketentuan UU 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, khususnya Pasal 224 ayat (5) (Hak Imunitas DPR) dan Pasal 245 ayat (1).
Berdasarkan Putusan MK RI No. 76/PUU-XII/2014 tanggal 22 September 2017.
Poin inti, yaitu persetujuan tertulis Mahkamah Kehormatan Dewan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai "persetujuan tertulis dari Presiden".
Berdasarkan Putusan MK tersebut, maka wajib hukumnya setiap penyidik yang akan memanggil anggota DPR RI harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden terlebih dahulu sebelum melakukan pemanggilan terhadap anggota DPR yang bersangkutan.
Bahwa karena dalam surat panggilan KPK ternyata belum disertakan Surat Persetujuan dari Presiden RI sebagaimana ketentuan Putusan MK, maka dengan tidak mengurangi ketentuan hukum yang ada, pemanggilan diri kami dalam jabatan saya selaku Ketua DPR RI dapat dipenuhi syarat persetujuan tertulis dari Presiden RI terlebih dahulu sebagaimana ketentuan hukum yang berlaku termasuk penyidik KPK.
6. Bahwa selain belum ada persetujuan tertulis dari Presiden RI ternyata pada tanggal 13 November 2017 kami telah lebih dahulu menerima undangan HUT Golkar ke-53 Tingkat Provinsi NTT.
7. Berdasarkan alasan hukum di atas, maka surat panggilan sebagai saksi tidak dapat saya penuhi.
Adapun surat tersebut ditandatangani oleh Setya Novanto.
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017