Jember, Jawa Timur (ANTARA News) - Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada, Zainal A Mochtar, berpendapat, masalah pengaturan atau regulasi di Indonesia terletak pada jumlah peraturan menteri yang dibuat dan diberlakukan. Istilah yang dicoba dipopulerkan tentang kenyataan kebanyakan regulasi ini adalah "obesitas regulasi".
"Peraturan menteri ini yang paling gemuk dan paling banyak menimbulkan masalah," ujar dia, dalam Konferensi Nasional Hukum Tata Negara, di Jember, Jawa Timur, pada Sabtu.
Dia mengatakan, jumlah peraturan menteri di Indonesia tidak terkendali, karena sudah mencapai puluhan ribu, dan jumlah ini, dikatakan dia, berbeda jauh dengan jumlah peraturan pemerintah serta peraturan presiden.
Persoalan ini, kata dia, akan sedikit terselesaikan bila seluruh peraturan menteri dipangkas dan dijadikan peraturan presiden saja, sehingga presiden bisa kontrol langsung dan tidak ada lagi ego sektoral di antara kementerian.
Dengan menggunakan sistem presidensial dimana presiden juga kepala pemerintahan, kata dia, maka menteri tidak memiliki kewenangan atributif, karena kewenangan negara diserahkan kepada presiden kemudian presiden mendelegasikan kepada menteri.
"Tetapi kondisi ini harus diiringi dengan penguatan kelembagaan," kata Mochtar.
Akan tetapi pula, agar presiden bisa mengendalikan, dan menguatkan pengaturan peraturan presiden, maka dia memerlukan satu unit kerja khusus bidang perundang-undangan yang berada langsung di bawah presiden.
"Isi dari unit kerja khusus ini bisa berupa orang-orang yang memiliki kemampuan di bidang hukum, yang paham betul mengenai aturan, yang penting dapat memberikan kontrol dan menguatkan presiden," ujar dia.
Lebih lanjut dia berpendapat, bila seluruh peraturan yang bersifat luas berada dalam peraturan presiden, maka peraturan menteri dapat dihilangkan.
Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2017