Manado (ANTARA News) - Pembangunan kelautan selama tiga dasawarsa terakhir cenderung diposisikan sebagai sektor pinggiran (peripheral sector) sehingga pertumbuhannya sangat lambat. "Laut di masa depan sesungguhnya harus dipandang sebagai tumpuan dan mainstream pembangunan perekonomian nasional maupun daerah," kata Menneg Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Paskah Suzetta dalam sambutannya pada rapat kerja forum kerjasama pemerintah daerah propinsi kepulauan di Manado, Kamis malam. Menurut Paskah, visi tersebut tidak berlebihan karena bidang kelautan yang jika didefinisikan meliputi sektor perikanan, pariwisata bahari, pertambangan laut, industri maritim, perhubungan laut, bangunan kelautan, serta jasa kelautan, menyimpan potensi raksasa. Apalagi jika dilihat dari tipologi wilayahnya, banyak daerah di Indonesia yang memiliki wilayah berupa gugusan pulau dengan keunggulan komparatif di bidang kelautan yang sangat besar, misalnya kepulauan Riau, Bangka Belitung, dan lainnya. "Akar permasalahan selama ini adalah pendekatan pembangunan yang mengadopsi paradigma kontinental, padahal Indonesia merupakan negara bertipologi kepulauan yang dipisahkan oleh lautan," katanya. Menurut dia, keterisolasian pulau-pulau kecil dari wilayah sekitarnya, kerusakan ekosistem laut, lemahnya industri maritim, serta berbagai permasalahan lainnya merupakan cermin dari ketertinggalan bidang kelautan. Dalam kaitan tersebut, katanya, usulan penetapan status propinsi kepulauan oleh Forum Kerjasama Antarpemerintah Daerah Propinsi Kepulauan merupakan terobosan positif. Kehendak politik dari pemerintah daerah untuk menegaskan statusnya sebagai propinsi kepulauan dapat dipahami dalam perspektif untuk lebih mengarusutamakan pembangunan kelautan dalam pembangunan daerah. Ia mengakui, bahwa dalam aspek kebijakan, setting pembangunan yang selama ini diterapkan di berbagai daerah masih lebih menitikberatkan pada pendekatan yang bias pada daratan dan kurang mengakomodasi kepentingan wilayah yang bertipologi kepulauan.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007