Jakarta (ANTARA News) - Tantangan terberat dalam pendistribusian produk barang konsumsi (consumer goods) di Indonesia adalah soal keterbatasan penyediaan infrastruktur, mengingat luasnya cakupan wilayah dan besarnya jumlah pelanggan yang harus dilayani di seluruh pelosok Indonesia.
"Kondisi demikian menjadikan Indonesia sering dianggap sebagai ajang `pembelajaran` dan menjadi acuan bagi prinsipal pemegang merk untuk megukur keberhasilan dalam pendistribusian produknya," kata Direktur Pengelola Qasa Strategic Consulting, Joko Wiyono kepada pers di Jakarta, Kamis, saat memaparkan hasil riset lembaganya mengenai kinerja distribusi perusahaan ritel nasional.
Menurut Joko Wiyono, dari hasil penelitian selama ini terungkap bahwa produsen barang konsumsi masih sangat tergantung pada pasar atau pedagang tradisional.
Data dari Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) juga menunjukkan sekitar 60-75 persen produk tersebut masih memiliki ketergantungan pada saluran distribusi tradisional yang jumlahnya sangat banyak dan beragam jenisnya, seperti toko-toko kelontong, toko P&D serta kios-kios rokok.
"Karena itu, sistem distribusi tradisional ini memiliki tantangan yang tinggi untuk ditaklukan," katanya.
Ia menilai, bagi pemain pasar yang berhasil menaklukan saluran distribusi tradisional layak memperoleh apresiasi dari berbagai kalangan termasuk dari lembaga riset.
Dalam kaitan itu pula, pihaknya memberikan penghargaan kepada sejumlah peritel nasional dalam bentuk The Most Powerful Distribution Performance 2007. Penghargaan diberikan berdasarkan hasil survei lembaganya pada 1.222 pengecer tingkat toko kelontong atau P&D baik skala besar dan kecil serta kios rokok.
Menurut Senior Consultant Qasa Retno W Juliarto, survei dilakukan secara serentak pada bulan Maret 2007 dengan melakukan audit atas penampilan produk di toko dan wawancara dengan pengecer.
Sampel diambil dari pengecer yang tersebar di tujuh kota besar, yaitu Jabodetabek, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Medan dan Makassar.
Pada survei tahun ini, penilaian dilakukan terhadap 9 kategori produk, lebih banyak tiga kategori dibandingkan tahun lalu, yaitu rokok, mi instan, minuman berenergi, sabun mandi batang, shampo, kopi bubuk, susu bubuk, obat nyamuk bakar/oles dan obat flu.
"Indikator yang digunakan dalam penilaian menyangkut dua aspek yaitu kinerja merek di toko dan manajemen pelanggan," katanya.
Dari hasil survei diperoleh penilaian tertinggi bagi PT Indofood untuk kategori mi instan, Bintang Toedjoe (minuman berenergi), HM Samporna (rokok), Unilever Indonesia (sabun mandi), Unilever Indonesia (shampo), Santos Jaya Abadi (kopi bubuk), Dankos Farma (obat flu), Johson Home Hygiene Product (obat nyamuk bakar dan oles) serta Nestle Indonesia (susu bubuk). (*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007