Jakarta (ANTARA News) - Wakil Presiden (Wapres), M. Jusuf Kalla, meminta masa lalu yang kelam berupa adanya konflik berdarah di Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng), hendaknya dijadikan pelajaran, agar tidak terjadi lagi di masa mendatang, bukan selalu diingat sebagai dendam. "Masa kelam itu kita saling memaafkan, tetapi tidak dilupakan, dilupakan artinya dipelajaran. Itu kita ingat sebagai pelajaran bukan sebagai dendam," kata Wapres saat menerima 35 tokoh agama dari Kabupaten Poso di Kantor Wapres, Jakarta, Kamis. Menurut Wapres, masa lalu yang kelam tersebut hendaknya diingat sebagai pelajaran untuk dipelajari, agar jangan terjadi lagi saling mencurigai dan saling bermusuhan. Wapres mengemukakan, tentunya semua pihak telah merasakan apa yang telah terjadi dan alami. Namun, semua pihak sekarang harus bersyukur karena semua telah terselesaikan secara damai. Menurut Wapres, kondisi di Kabupaten Poso merupakan wilayah yang sangat lengkap dan plural, karena itu kehidupan masyarakatnya bisa lebih plural dan bisa saling memahami. Wapres menjelaskan secara singkat awal mula konflik Poso yang terjadi karena adanya perubahan sistem politik demokrasi yang membuat "sang pememang mengambil semua" (the winner take all) sehingga mengubah keseimbangan yang ada. "Sebetulnya di Poso ada tiga fase, yakni fase konflik, fase damai dan fase teror. Alhamdullilah sekarang sudah selesai semua," kata Wapres. Wapres lantas mencotohkan, saat ini tidak ada lagi yang saling mencari lawan, Pendeta Damanik tidak lagi mencari Ustad Adnan Arsal, dan begitu juga sebaliknya. Untuk itu, Wapres menambahkan, yang harus dilakukan sekarang adalah memulihkan (recovery) ekonomi, politik dan pembangunan di Poso. Sementara itu, Pendeta Arnold Tobondo mengemukakan bahwa kedatangan 35 tokoh umat beragama baik dari Islam, Kristen, Katolik maupun Hindu di Poso tersebut merupakan yang pertama kalinya bertemu secara bersama dan berdialog langsung dengan Wapres Kalla. Menurut Arnorld, ke-35 tokoh umat beragama Poso itu telah selama empat hari berkumpul dan berdiskusi bersama di Yogyakarta, dan menghasilkan pemikiran bersama untuk membangun kembali Poso. "Deklarasi Malino pada 21 Desember 2001 menjadi titik tolaak kita bersama," kata Arnorld. Deklarasi Malino diprakarsai oleh M. Jusuf Kalla yang saat itu selaku Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) di era kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri. Untuk itu pula, ia mengemukakan, dengan ketulusan hati nurani yang ada para tokoh-tokoh agama tersebut berkumpul bersama selama empat hari di Yogyakarta. "Kami ingin mengukuhkan kembali, mengambil komitmen bersama, kami mau berjalan ke depan, kami mau jalan bersama. Kami takut kehilangan persahabatan, kami takut kehilangan persaudaraan," kata Pendeta Arnorld. Sedangkan, Ketua Umum Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Poso, Malik Syahadat, mengemukakan bahwa dalam diskusi selama empat hari di Yogyakarta menghasilkan 10 butir kebersamaan yang disebut Belajar Bersama. "Antara lain, kita sepakat untuk membentuk kader-kader perdamaian dari masing-masing agama," kata Malik. Para kader perdamaian tersebut, menurut dia, akan dikerahkan untuk turun langsung ke kecamatan-kecamatan di seluruh Poso. Untuk program kader perdamaian tersebut, Malik mengemukakan, dalam tahap pertama targetnya bulan Agustus 2007 akan dilakukan untuk 40 orang kader, dan akan terus dilakukan. Pembiayaan untuk kegiatan tersebut, katanya, bersumber dari pemerintah pusat melalui Menko Kesra dan andil dari Pemerintah Daerah Poso maupun Sulteng. Malik mengatakan, untuk program tersebut memang ada kendala pokok berupa wilayah yang sangat luas atau kendala transportasi. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007