Jakarta (ANTARA News) - Indonesia merupakan negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, di mana seharusnya ekonomi syariah, termasuk pasar modalnya berkembang pesat.
Dalam mobilisasi dana di pasar modal misalnya, meski pertumbuhannya selama ini cukup baik, masih terkendala dengan basis pasar nasional yang relatif kecil.
Karena itu, dibutuhkan terobosan agar produk pasar modal syariah Indonesia yang jumlahnya banyak itu dapat masuk dan ditransaksikan di pasar global.
Salah satu usulan yang mengemuka dalam memasuki pasar global itu adalah Indonesia kini memerlukan bursa efek syariah sepenuhnya di mana produk yang dijual memenuhi ketentuan Dewan Syariah Nasional (DSN), termasuk proses atau mekanisme transaksinya.
Untuk itu, Bursa Efek Indonesia (BEI) melakukan kunjungan ke Dubai Financial Market (DFM), Uni Emirat Arab, pada Minggu (29/10), guna mengetahui aktivitas perdagangan satu-satunya pasar modal di dunia yang berprinsip syariah.
Aktivitas transaksi efek di DFM, menurut Direktur Utama BEI Tito Sulistio, telah dijalankan dengan prinsip syariah secara sempurna, di mana produk dan mekanisme transaksi dilakukan secara syariah di bursa yang beraktivitas pada Minggu hingga Kamis itu.
Kunjungan BEI ke DFM ini juga menjajaki pertukaran pengetahuan. Hal ini dilakukan agar pasar modal syariah di dalam negeri dapat semakin berkembang dan diharapkan ke depannya dapat menjadi penghubung atau hub dengan pasar modal syariah dunia.
Pasar besar
Tito Sulistio menjelaskan, Indonesia memiliki pasar modal syariah yang sangat besar. Dengan populasi penduduk Indonesia mencapai 261,115 juta jiwa, di mana 87 persennya atau 227,12 juta jiwa beragama Islam dan 65 persen di antaranya masih dalam usia produktif.
Sedangkan populasi negara-negara utama penerbit sukuk terbesar dunia tidak sebesar Indonesia. Misalnya, Turki yang hanya memiliki populasi 79,512 juta jiwa, Inggris 65,637 juta jiwa, Arab Saudi 32,27 juta jiwa, Malaysia 31,19 juta jiwa dan UEA yang hanya 9,27 juta jiwa.
Ke depannya pasar modal syariah Indonesia masih akan terus berkembang. Potensi tersebut ditunjukkan dengan pergerakan Indeks Saham Syariah Indonesia (ISSI) yang mengalami kenaikan mencapai 28,1 persen pada periode Juni 2016 hingga Juni 2017.
Sedangkan beberapa indeks syariah utama terbesar dunia pertumbuhannya masih di bawah ISSI, seperti indeks Dow Jones Islamic Market yang hanya mencatatkan kenaikan 16,4 persen, FTSE Global Shariah 15,8 persen dan MSCI World Islamic yang hanya tumbuh 13,1 persen.
Dalam jangka waktu lima tahun, nilai kapitalisasi pasar saham syariah juga meningkat 42 persen. Pada 2012, kapitalisasi pasar saham syariah baru mencapai Rp2.451 triliun, tapi pada akhir September 2017, sudah menjadi Rp3.473 triliun.
Transaksi saham di BEI juga didominasi oleh saham syariah. Per September 2017, dari 556 saham yang ditransaksikan di BEI, sebanyak 343 saham di antaranya merupakan saham-saham berbasis syariah.
Selain itu, perkembangan jumlah investor saham syariah, yakni investor yang membuka rekening efek syariah, juga meningkat signifikan.
Per September 2017, jumlah investor saham syariah tercatat 19.265 orang atau naik 57 persen dibandingkan 2016 yang berjumlah 12.283 orang. Dengan demikian, jumlah pangsa pasar investor syariah juga tumbuh 3,2 persen pada September 2017 dibandingkan 2016 yang sebesar 2,3 persen.
Rencana strategis
Tito Sulistio menjelaskan, pembentukan bursa efek syariah menjadi salah satu rencana strategis dalam mengembangkan dan memerkuat pasar syariah di dalam negeri.
Keberadaannya kelak melengkapi eksistensi BEI dan dalam menjalin sinergi dengan bursa lain di dunia khusus untuk produk syariah.
Wacana membentuk bursa khusus syariah itu kali pertama disampaikan Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan P Roeslani kepada Tito Sulistio, belum lama ini.
Tujuannya agar ada lembaga khusus yang menangani pasar syariah sehingga fokus dan tidak tercampur dengan produk konvensional.
Tito menyambut positif gagasan pembentukan bursa syariah itu. BEI menindaklanjuti secara serius salah satunya dengan melakukan kunjungan kerja ke DFM di Dubai, UEA.
Tito mengusulkan jika bursa syariah jadi berdiri, lokasinya di Jawa Timur. Pasar syariah, menurutdia, memang bukan hanya bagi Muslim tapi untuk semua. Namun dengan potensi pasti jumlah muslim di Indonesia saja sudah mengalahkan potensi negara lain.
Jumlah penduduk di Jawa Timur tambah Jawa Barat, dan DKI Jakarta saja sudah mengalahkan Malaysia ditambah Brunei Darussalam ditambah Singapura dan Australia, kata Tito.
Secara teknis, membentuk bursa syariah Indonesia sangat memungkinkan. Tito memperkirakan sekitar sembilan bulan sudah bisa berdiri. Tentu saja dengan asumsi BEI terlibat dengan membantu penyediaan ragam infrastruktur teknis termasuk regulasi.
Ia juga mengatakan, jika diberikan kepercayaan BEI siap untuk mengelola.
"Kita punya sumber daya manusia dan infrastrukturnya," katanya.
Menurut Tito, bursa syariah dibutuhkan untuk menggenjot pasar syariah sehingga potensi tambahan pembiayaan dari "instrumen halal" semakin terbuka. Terutama untuk kebutuhan pembangunan infrastruktur Indonesia yang terus meningkat.
Selain itu, bursa syariah juga yang akan menjadi representatif Indonesia jika rencana sinergi pasar modal syariah global mulai berjalan.
BEI dan Dubai Financial Market (DFM) telah sepakat untuk bekerja sama. Kedua pihak sepakat akan mengkaji langkah bersama dalam rangka pengembangan pasar modal syariah global. Bahkan, menjadikan Indonesia sebagai hub atau perantara pasar keuangan syariah global.
Pewarta: Ahmad Buchori
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017