Dhaka, Bangladesh (ANTARA News) - Amerika Serikat (AS) menginginkan solusi diplomatik untuk krisis Rohingya, tapi tidak mengesampingkan pengenaan sanksi untuk menekan Myanmar jika diperlukan, kata seorang pejabat senior Kementerian Luar Negeri AS pada Minggu (5/11) di Bangladesh.

Thomas Shannon, pejabat urusan politik di Kementerian Luar Negeri AS, mengatakan menyelesaikan krisis kemanusiaan melalui dialog dengan Myanmar merupakan prioritas utama namun pintu tetap terbuka untuk kebijakan lebih keras jika perundingan gagal.

"Kami sudah menyiapkan berbagai sanksi yang dapat kami jatuhkan jika kami memutuskan untuk menggunakannya. Ini akan menjadi bagian dari upaya penekanan yang lebih besar," kata Shannon kepada wartawan setelah bertemu dengan pejabat di Dhaka.

"Namun saat ini, seperti yang saya katakan sebelumnya, tujuan kami adalah memecahkan masalah, bukan menghukum," katanya sebagaimana dikutip kantor berita AFP.

Pernyataannya muncul beberapa hari setelah anggota parlemen AS mengusulkan sanksi terhadap militer Myanmar dalam salah satu upaya terkuat Washington untuk menekan Myanmar guna mengakhiri perlakuan kejam terhadap minoritas muslim Rohingya.

Lebih dari 600.000 pengungsi Rohingya melarikan diri penindakan keras militer di negara mayoritas Buddha Myanmar yang disetarakan dengan pembersihan etnis oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Para pengungsi masuk mengalir dari sepanjang perbatasan negara bagian Rakhine di Myanmar ke negara tetangga Bangladesh, tempat ratusan ribu pengungsi Rohingya tinggal di kamp-kamp kotor sejak akhir Agustus.

Shannon menyebut beberapa "gerakan positif", termasuk isyarat dari Myanmar bahwa mereka terbuka menyambut kedatangan anggota komunitas internasional di Rakhine dan mengadakan pembicaraan dengan Bangladesh mengenai krisis tersebut.

AS ingin "menangkap" kemajuan itu dan bergerak menuju satu resolusi tanpa harus menggunakan cara lain, ia menambahkan.

"Kami akan mengupayakan solusi diplomatik untuk masalah ini sampai kami tidak bisa lagi mencapainya," kata dia.

Selama puluhan tahun Rohingya menghadapi penganiayaan di Myanmar, tempat mereka ditolak kewarganegaraannya dan direndahkan sebagai imigran "Bengali" ilegal.

Myanmar menyatakan penindakan militer itu dilakukan untuk merespons serangan mematikan pemberontak yang mengklaim bertempur untuk minoritas Rohingya. (mr)

Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017