Yogyakarta (ANTARA News) - Pajak eksportasi merupakan alat paling mudah untuk menciptakan perimbangan antara pasokan domestik dan ekspor minyak goreng yang akan berimplikasi pada terkendalinya harga.
"Rencana pemerintah untuk menaikkan pajak ekspor harus segera dilakukan, namun besarannya harus memperhatikan harga pada tingkat pasar global," kata peneliti senior pada Pusat Studi Kawasan dan Pedesaan (PSKP) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Dr Ir Mochammad Maksum MSc, Rabu.
Pemerintah sendiri berencana menaikkan Pajak Ekspor (PE) minyak kelapa sawit Crude Palm Oil (CPO) dari 1,5 persen menjadi 6,5 persen jika pada akhir Juni 2007 harga minyak goreng belum berhasil diturunkan ke tingkat Rp6.500 sampai Rp6.800 per kilogram (kg).
Menurut dia, negara lambat dalam mengantisipasi permasalahan mahalnya harga minyak goreng dalam negeri. Ketika harga CPO pada pasar global dalam lima bulan terakhir naik tajam dari sekitar 600 dolar AS menjadi 750 dolar AS per ton, ternyata ekspor juga ikut naik, apalagi dengan PE yang relatif rendah.
Meningkatnya ekspor tersebut akan berakibat cadangan domestik semakin kecil sehingga harga dalam negeri mengalami kenaikan.
Ia mengatakan, kebutuhan dalam negeri terhadap CPO hanya 15 - 20 persen dari total produksi dalam negeri, sedangkan 80 - 85 persen merupakan komoditas ekspor.
Menurut dia, jika pajak ekspor dinaikkan dan penghasilan dari pajak tersebut dialokasikan untuk subsidi minyak goreng, maka harga dalam negeri bisa dikendalikan.
Bahkan menurut perhitungan, penghasilan dari pajak tersebut juga dapat disisihkan untuk pengembangan produksi pada sektor pertanian sawit.
Dikatakannya, peningkatan produksi sawit tersebut akan berimplikasi pada naiknya daya beli masyarakat terutama petani sawit.
"Pada prinsipnya, persoalan tersebut akan teratasi jika penghasilan dari pajak minyak sawit dikembalikan lagi ke sektor pertanian sawit," kata Maksum.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007