Jakarta (ANTARA News) - Setelah Ali Mazi dan Pontjo Sutowo divonis bebas, dua terdakwa pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN), Robert J. Lumempouw dan Ronny Kusuma Yudhistiro, juga minta dibebaskan dari segala dakwaan perkara dugaan korupsi perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB) Hotel Hilton.
"Saya kira posisi mereka semakin kuat untuk dibebaskan juga. Kalau Ali Mazi dan Pontjo bebas, maka seharusnya mereka juga bebas," kata Imron Halmi, kuasa hukum Ronny, usai pembacaan duplik di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Rabu.
Ia menambahkan, Robert sebagai Kakanwil BPN DKI Jakarta, dan Ronny sebagai Kepala Kantor Pertanahan Jakarta Pusat didakwa memperkaya Pontjo Sutowo selaku Presiden Direktur PT Indobuildco karena mengeluarkan surat keputusan perpanjangan HGB No 26 dan No 27 atas nama PT Indobuildco.
"Tetapi, karena perbuatan memperkaya diri dalam perkara Ali Mazi dan Pontjo tidak terbukti, lalu Robert dan Ronny memperkaya siapa? Seharusnya, dakwaan memperkaya orang lain itu tidak terbukti juga," tutur Imron.
Menurut Imron, perkara yang dihadapi oleh Robert dan Ronny pararel dengan perkara Ali Mazi dan Pontjo Sutowo.
"Perkara ini satu gerbong. Kalau yang satu bebas, masa yang lain tidak," ujarnya.
Majelis hakim yang diketuai Andriani Nurdin pada Selasa, 12 Juni 2007 memvonis bebas Pontjo Sutowo dan Ali Mazi karena perbuatan mereka memperpanjang HGB Hotel Hilton dinyatakan bukan perbuatan melawan hukum.
Majelis hakim menilai Pontjo Sutowo yang memberikan kuasa kepada Ali Mazi untuk memperpanjang HGB Hotel Hilton telah melakukan perpanjangan itu sesuai dengan prosedur dan dengan itikad baik.
Majelis hakim yang sama pada Rabu, 27 Juni 2007, akan membacakan putusan perkara dugaan korupsi HGB Hotel Hilton untuk terdakwa Robert J Lumampouw dan Ronny Kusuma Yudhistiro.
Dalam dupliknya, Robert menyatakan kalau pun keputusannya memperpanjang HGB Hotel Hilton dinilai keliru, maka penyelesaiannya bukanlah melalui jalur pidana.
Ia menilai, penyelesaian kekeliruan itu lebih tepat melalui jalur perdata atau gugatan Tata Usaha Negara (TUN).
Robert juga menilai dakwaan penuntut umum prematur karena diajukan sebelum adanya putusan perdata kasus Hilton yang ditangani oleh PN Jakarta Selatan.
Robert juga menilai SK Kepala BPN No 169 Tahun 1989 bertentangan dengan UU Pokok Agraria yang lebih tinggi kedudukan hukumnya.
SK No 169 Tahun 1989 yang memutuskan HGB No 26 dan No 27 atas nama PT Indobuildco berada di atas HPL No 1 atas nama Sekretariat Negara, menurut dia, justru mengebiri hak pemegang HGB untuk memperpanjang HGB tersebut.
Padahal, lanjut dia, UU Pokok Agraria memberikan kesempatan bagi pemegang HGB untuk memperpanjang haknya.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007