Tidak ada jaminan kalau alat bukti yang dikantongi penyidik tidak akan dipatahkan oleh hakim pra-peradilan. Untuk itu Presiden perlu membuat terobosan hukum mempercepat proses revisi KUHAP yang saat ini masih terkatung-katung di DPR."

Jakarta (ANTARA News) - Penetapan tersangka sesungguhnya bukan sebagai upaya paksa sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), oleh karenanya tidak tepat jika para hakim Pengadilan Negeri (PN) menerima atau mengabulkan permohonan pra-peradilan seorang tersangka.

Objek pra-peradilan diatur secara terbatas oleh KUHAP terhadap penyitaan dan penangkapan, tidak termasuk di dalamnya penetapan sebagai seorang tersangka.

Oleh karenanya, para hakim PN semestinya menolaknya gugatan pra-peradilan dalam objek tersangka, kata pakar Ely Kusumastuti dalam disertasinya pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Airlangga, di Surabaya, Kamis.

Dalam Disertasi berjudul "Penetapan Tersangka sebagai Objek Pra-peradilan" yang dipromotori oleh Prof Dr Muchammad Zaidun dan Ko-promotor Prof Dr Didik Endro Purwoleksono, Ely mengatakan, masuknya penetapan tersangka sebagai objek pra-peradilan berdasarkan putusan pra-peradilan atas nama Budi Gunawan, sampai saat ini menimbulkan ketidakseimbangan perlindungan hukum terhadap indivdu dan kepentingan publik (masyarakat) dalam penegakan hukum.

Perlindungan hukum dan HAM saat ini lebih diutamakan kepada pribadi "besar" (private), tetapi mengabaikan perlindungan publik yakni masyarakat luas. Kasus KTP-elektronik yang melibatkan tokoh nasional Setya Novanto, merupakan bukti nyata bahwa hukum masih tampak melindungi hak privat tetapi mengabaikan kepentingan lebih luas, kata Ely seraya menambahkan, ribuan data dan bukti tentang Setnov, tidak berlaku lagi dengan adanya putusan pra-peradilan.

Ely memberikan alasan seseorang dijadikan tersangka tidak dapat dijadikan objek pra-peradilan. Sedikitnya ada lima alasan, antara lain, tidak termasuk dalam KUHAP, tidak termasuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) jika prosedur yang ditempuh secara benar, bertentangan dengan asas legalitas (lex stricta dan lex certa) dan kewajiban menunjukkan dua alat bukti di hadapan hakim pra-peradilan, jelas bertentangan KUHAP karena hal itu sudah masuk ke dalam materi persidangan.

Oleh karenanya, kata Ely yang mendapat penilaian IPK 3,8 (cumlaude) dalam mempertahankan disertasinya itu, menyarankan agar Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan peraturan (perma) untuk menindaklanjuti Putusan MK No.21/PUU-XII/2014 yang dikeluarkan 28 April 2015.

Pada intinya, putusan itu membuka peluang seseorang tersangka dapat mengajukan pra-peradilan, sehingga berimplikasi luas terhadap penegakan hukum di Indonesia.

Ely yang juga sebagai pegawai Kejaksaan Negeri, tetap menyakini bahwa tersangka tidak termasuk ranah Pra-peradilan meskipun para penguji berbeda pendapat dengan Promovendus.

Putusan MK No 21/PUU-XII/2014 merupakan putusan hakim yang cukup progresif dan bersifat final and binding karenanya, pendapat Promovendus bertentangan dengan norma yang ada dalam keputusan MK dan UU KPK, kata salah satu penguji, Prof. Dr. Agus Yudha Hernoko.


Kegalauan Penyidik

Sementara itu, Dr Laksanto Utomo yang juga Ketua Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APPTHI) selaku penanggap menyampaikan, setelah adanya putusan MK, dilanjutkan dengan gugatan Budi Gunawan yang dimenangkan Hakim Sarpin, pengajuan pra-peradilan saat ini cukup marak.

Para penyidik saat ini banyak yang "galau" dan takut dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka meskipun mereka sudah mengantongi dua alat bukti kuat.

"Tidak ada jaminan kalau alat bukti yang dikantongi penyidik tidak akan dipatahkan oleh hakim pra-peradilan. Untuk itu Presiden perlu membuat terobosan hukum mempercepat proses revisi KUHAP yang saat ini masih terkatung-katung di DPR," katanya.

Dalam KUHAP perlu adanya pembatasan waktu dua atau tiga bulan seseorang ditetapkan sebagai tersangka.

Jika dalam waktu itu tidak segera diproses oleh Kejaksaan, Kepolisian atau KPK, maka dengan sendirinya hal tersebut akan gugur demi hukum.

Selain pembatasan, kata Laksanto, perlunya diciptakan hakim komisaris, apakah seseorang sudah tepat dijadikan terangka atau belum. Itulah yang menjadi kegalauan para penyidik, karena belum ada hukum yang mengatur secara jelas.

Laksanto memahami Putusan MK sudah menggunakan sistem hukum progresif yang keluar dari pakem legalitas hukum.

"Saya secara pribadi memahami putusan MK soal dibolehkannya tersangka masuk dalam ranah pra-peradilan, tetapi mesti harus ditindaklanjuti oleh pemerintah dan DPR untuk mempercepat aturan yang lebih baik dan adil," katanya.

Pewarta: Theo Yusuf Ms
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017