Jakarta (ANTARA News) - Pembina Yayasan Dr. Sjahrir, Dr. Kartini Sjahrir mengatakan peta gambut dengan akurasi tinggi menjadi instrumen sangat penting sebagai acuan para pemangku kepentingan mengambil kebijakan mengelola gambut.
"Karena itu, hari ini kita diskusikan bersama, dalam upaya melakukan restorasi dan konservasi lahan gambut. Dari diskusi kali ini bisa disimpulkan pentingnya Science Base Solution dalam melakukan upaya konservasi dan restorasi," katanya, di Jakarta, Rabu.
Dalam membuat kebijakan apapun pemerintah memang harus menggunakan data yang akurat, dan untuk memperoleh itu penerapan teknologi dan ilmu pengetahuan dengan standar internasional sangat dibutuhkan, lanjutnya.
Terkait peta gambut di Indonesia, berdasarkan catatan Kazuyo Hirose dari Japan Space System, sejak 1970-an sampai 2011, Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum, sejumlah lembaga dan perguruan tinggi telah membuat peta gambut skala lokal dan national. Namun laporan yang dihasilkan menunjukkan perbedaan, dengan rentang selisih antara 13,5 sampai dengan 26,5 juta hektare (ha).
Namun, berdasarkan World Resources Institut (WRI Indonesia) semua peta gambut yang tersedia di Indonesia masih dalam skala kecil, sehingga belum bisa menjawab permasalahan pengelolaan gambut dan restorasi di tingkat tapak.
Menurut Deputi I Bidang Perencanaan dan Kerjasama Badan Restorasi Gambut (BRG) Budi Satyawan Wardjama, BRG yang dibentuk pemerintah 2016 dalam rangka percepatan pemulihan kawasan dan pengembalian fungsi hidrologis gambut akibat kebakaran hutan. Awalnya bekerja menggunakan data peta yang ada yang belum terbarui dan kurang memadai.
"Ada 14 peta dan semua beda-beda, untungnya ada wali data peta tanah dan peta lahan gambut Balitbangtang Kementan. Tapi sayangnya data terakhir tahun 2011 dan belum terbarui," katanya.
Ia menjelaskan bahwa dari peta indikatif yang ada dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (skala 1:250.000), BRG melakukan inventarisasi dan pemetaan ekosistem gambut, kemudian melakukan pemetaan skala besar dan melakukan identifikasi kondisi hidrotopografis, kerusakan gambut dan tutupan, serta sosio-ekonomis.
BRG, lanjutnya, juga menggunakan teknologi Light Detection Ranging (LiDAR) yang dapat menghasilkan peta skala besar hingga 1: 2.500, dan mendapatkan detail kondisi yang bisa ditampilkan dengan pemodelan tiga dimensi.
Pemerintah juga menyadari pentingnya peta yang lebih akurat, dan bisa digunakan sebagai acuan bersama dalam menentukan sebuah kebijakan. Karena itu, pada 2016 Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 9 Tahun 2016, tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta Pada Tingkat Ketelitian Peta Skala 1: 50.000.
Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta pada tingkat ketelitian peta skala 1:50.000 bertujuan untuk terpenuhinya satu peta yang mengacu pada satu referensi geospasial, satu standar, satu basis data dan satu geoportal guna percepatan pelaksanaan pembangunan nasional.
Dalam aturan ini, pemerintah menargetkan penyelesaian peta-peta tematik bertahap sesuai rencana aksi percepatan kebijakan satu peta sampai 2019. Kebijakan satu peta bertujuan antara lain, memudahkan penyelesaian konflik, sampai tumpang tindih pemanfaatan lahan.
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2017