Jakarta (ANTARA News) - DPR perlu berhati-hati dalam menentukan sistem pemilihan calon legislatif (caleg) dalam RUU tentang pemilu, terutama terkait sistem distrik murni yang sering didengungkan sejumlah parpol untuk dijadikan alat untuk menjaring calon anggota legislatif banyak memiliki kelemahan.
Menurut Ketua DPP Partai Golkar Firman Subagyo di Jakarta, Rabu, sistem distrik murni di satu sisi memang telah mengakomodasi semangat demokrasi karena siapa saja yang memiliki suara terbanyak bisa menjadi anggota DPR. Namun, dari sisi SDM, sistem distrik memiliki banyak kelemahan.
Pertama, sistem distrik murni bisa melahirkan kader partai yang kurang berkualitas lolos ke DPR hanya karena kader tersebut memiliki popularitas di daerah pemilihannya. Di sisi lain, kader-kader partai yang berkualitas dan memiliki kemampuan tidak lolos karena tidak dikenal di daerah pemilihan.
"Sistem seperti ini sudah dijalankan di beberapa negara lain, tetapi tampaknya sistem ini sangat lemah dalam hal SDM. Memang nanti banyak kader dari daerah yang lolos ke DPR tetapi kualitas dan pengalamannya belum teruji," kata Firman.
Dia mengakui, setelah sembilan tahun reformasi, hampir semua roda reformasi sudah berjalan cukup baik. Misalnya, Indonesia sudah melakukan pemilihan presiden dan pemilihan kepala daerah secara langsung, kecuali pemilihan angota DPR yang belum dapat dilakukan secara langsung (distrik).
Demokrasi harus berjalan secara "bottom up", bukan "top down". Karena itu, Firman setuju dengan sistem distrik yang diusulkan sejumlah parpol. Tetapi sebelum menerapkan sistem ini secara baku, anggota DPR hendaknya mengkajilebih dalam lagi tentang dampak positif dan negatifnya.
"Saya setuju pemilihan angota DPR dilakukan secara langsung, tetapi hal itu hendaknya dilakukan bertahap. Tidak serta merta kita menggunakan sistem distrik pada Pemilu 2009 atau 2014. Karena dengan sistem distrik ini implikasinya bia kepada masalah bangsa secara keseluruhan. Kita memang ingin kader daerah masuk Senayan, tetapi tentunya kader yang berkualitas, bukan kader yang belum jadi. Sebab, kepentingan bangsa berada di atas segalanya," kata Firman.
Firman juga mengusulkan UU Pilpres 2009 hendaknya memperketat syarat bagi calon presiden. Salah satunya yang berkaitan dengan jumlah suara yang berhak mengusung calon presiden.
"Yang ideal itu calon presiden yang akan datang bisa memperoleh suara 50 + 1. Sehingga pada perjalanan pemerintahannya kemudian tidak ada lagi `reshuffle` kabinet di tengah jalan. Untuk itu, saya mengusulkan agar calon presiden 2009 harus diusung oleh 35 persen suara. Dengan demikian hanya akan ada dua atau tiga calon. Untuk mendapatkan dukungan itu, calon-calon harus berkoalisi," kata Firman.
Koalisi ini yang akan menghasilkan pemerintahan menjadi lebih kuat karena didukung oleh sejumlah parpol besar dan kecil. "Karena di masa yang akan datang tidak ada lagi `single mayority`, maka koalisi permanen merupakan jalan terbaik untuk menjaga pemerintahan hingga periode berikutnya," kata Firman Soebagyo.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007