Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah tengah menyiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang melarang penggunaan bahan kimia untuk senjata kimia, sebagai salah satu implementasi dari ratifikasi Konvensi Senjata Kimia (KSK) pada 30 September 1998. "Selama ini kita (pemerintah Indonesia) sudah membuat berbagai ketentuan yang mengatur penggunaan bahan kimia sebagai barang berbahaya, namun belum ada aturan mengenai pemanfaatan bahan kimia sebagai senjata," kata Menperin Fahmi Idris usai rapat dengan Pansus DPR-RI, di Jakarta, Rabu. Dalam rapat Pansus yang membahas RUU tentang Penggunaan bahan Kimia dan Larangan penggunaan Bahan Kimia sebagai senjata kimia yang juga dihadiri Menhan Yuwono Sudarsono itu, kalangan anggota dewan dari berbagai komisi di DPR-RI mempertanyakan maksud dan tujuan dari RUU tersebut, termasuk apakah RUU itu dibuat atas tekanan atau pesanan dari negara tertentu. Menperin mengatakan, pembuatan RUU tersebut merupakan bagian dari upaya pemerintah Indonesia melaksanakan KSK yang sudah diratifikasi. Sebelum RUU dibuat, lanjutnya, pemerintah sudah melakukan berberbagai hal seperti membuat aturan produksi dan impor bahan berbahaya tertentu, serta menyampaikan deklarasi atas impor bahan kimia yang termasuk dalam daftar bahan kimia yang diatur KSK, seperti mono diethanolamine, triethanolamine, dan phospor tri chloride. Selain itu juga sudah disampaikan laporan mengenai produsen bahan kimia organik yang masuk dalam kategori bahan kimia yang produksinya melebihi ambang batas tertentu, yaitu enam pabrik urea dan dua pabrik metanol pada 2002. Bahkan, pada 2004 sampai Mei 2007, sejumlah produsen pupuk yaitu PT Petrokimia Gresik, PT Asean Aceh Fertilizer, PT Pupuk Iskandar Muda, PT Pupuk Sriwijaya, dan PT Pupuk Kujang, serta satu produsen metanol yaitu PT Medco Methanol Bunyu, diinspeksi oleh Organisasi Larangan Senjata Kimia (Organization for The Prohibition of Chemical Weapon/OPCW). Materi RUU sendiri, katanya, terdiri atas tujuh bab dan 29 pasal, yang mengatur penggunaan dan larangan pengiriman bahan kimia yang masuk dalam daftar KSK, serta kewajiban melapor kegiatan produksi, menyimpan, maupun menggunakan. RUU tersebut juga membuat aturan mengenai pembentukan otorita nasional sebagai koordinator penyelenggaraan kerjasama internasional dan penghubung antarnegara yang meratifikasi KSK. Hal lain yang diatur juga mengenai sanksi pidana pelanggaran ketentuan tersebut. "Selama ini kita juga memproduksi bahan baku kimia, seperti phospor, yang berpotensi menjadi senjata kimia. Namun kita tidak menggunakan itu sebagai senjata kimia," katanya. Fahmi mengatakan adanya ketentuan mengenai larangan penggunaan senjata kimia tersebut diharapkan juga bisa mengawasi produksi dan peredaran bahan kimia berbahaya lainnya.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007