Tokyo (ANTARA News) - Karina Salim dan Cornelio Sunny mewakili film "Mobil Bekas dan Kisah Kisah dalam Putaran" yang tayang pada Festival Film Internasional Tokyo (TIFF) 2017.


Sebelum penayangan pertama pada festival ini kemarin malam, ANTARA News berbincang-bincang dengan kedua pemeran film karya sutradara Ismail Basbeth itu.


Kami membincangkan kedekatan Ismail dengan Sunny yang sampai menyebut sutradara itu "istri kedua" hingga betapa Karina lebih dag dig dug menghadapi penonton di Indonesia.


Bagaimana rasanya ada pada festival ini?

Sunny (S): Pertama kali ke sini 2 tahun lalu, first time ke Tokyo, aku juga pernah ke jepang sebelumnya tapi ke Fukuoka tapi belum pernah ke Tokyo. Jadi lebih kayak syok ke konteks yang luar biasa happy ya, sampai enggak mau pulang. Itu yang pertama kali. Kalau sekarang i'm so happy karena balik lagi. Dan film-film pilihan Tokyo memang unik-unik kan, jadi untuk menonton film sambil mencari waktu untuk jalan-jalan itu setengah mati susahnya.


Karina (K): Ke sini tahun lalu juga sudah beberapa kali, kayak dipanggil pulang ke rumah ya, kita kemarin bahas, because we love Japan very much.


Nanti malam (29 Oktober 2017) pemutaran perdana ya, bagaimana perasaannya, bersiap-siap untuk sesi tanya jawab nanti?

Karina: Kita pikir penonton yang datang untuk nonton film di sini kan mereka juga tahu mau nonton film apa. Mungkin enggak se-deg-degan kalau diputar di Indonesia, kalau aku pribadi (tertawa).


Sunny: Karena film saya yang sama Ismail pertama, Another Trip to The Moon, itu kan juga ke Jepang juga. Saya tidak menyangka ketika orang Jepang menonton mereka bisa memiliki perspektif yang sangat unik. Bukan mempertanyakan filmnya, tapi memberikan opini filmnya. Dan saya happy-nya minta ampun karena Another Trip to the Moon di negara saya sendiri memang banyak yang enggak paham. Sedangkan di sini mereka bisa melebihi pemahaman, kayak kita filmmaker sendiri enggak mikir sampai kesana. Jadi saya pikir di Jepang saya cukup antusias dengan penonton-penontonnya. Orang di sini mau nonton mereka pasti tahu mau nonton apa, justru mungkin lebih deg-degannya ke pertanyaan yang cukup mendetil karena mereka pasti ingin tahu...


Karina: Kritis banget.


Sunny: Kritis.


Kesan-kesannya bekerja sama dengan Ismail Basbeth?

Sunny: Ismail Basbeth seperti istri kedua saya. Istri pertamanya ada di Tokyo juga, karena kita sudah berteman 11 tahun. Dia teman pertama saya ketika saya baru pulang dari Kanada, waktu saya belum bisa bahasa Indonesia.

Kita langsung berteman. Saya menulis skrip fiksi, dia menulis skrip dokumenter. Dari dua benua berbeda ternyata skripnya mirip, kita memutuskan untuk bikin film, dari situ hidup kita start.

Bikin film, bikin film, bikin film akhirnya kita partner kerja sama, kita punya PH bersama. Jadi kalau kerja sama dia, dia tutup mata, dia tahu aku pasti perform. Aku tutup mata, aku tahu dia pasti perform. Jadi percayanya sudah segitunya.


Karina: Ini pengalaman pertama aku sama mas Mail. Tapi pastinya aku tahu kalau film-film yang akan mas Mail buat itu film eksperimental, film alternatif yang jarang seperti ada banyak di bioskop Indonesia. Jadi aku dari awal memang sudah ingin banget main dil film mas Mail. Aku simply bilang sama mas Mail, 'Mas nanti kalau ada film baru please ajak aku.' Akhirnya mas Mail hubungi aku dan tanpa mikir dua kali aku langsung mau.


Seberapa signifikan peran film festival buat menggaungkan film Indonesia di luar negeri?

Sunny: Film festival memang penting, ini bukan cuma film diputar tapi biasanya perwakilan filmnya diundang untuk bisa menjelaskan kenapa film itu dibuat, tujuan film itu mau dibawa ke mana. Jadi tidak ada misunderstanding dengan konteks film yang kita bikin.

Cuma, kalau saya mungkin lebih tertarik dengan di ajang film festival seperti itu, kita bisa ketemu dengan distributor. Karena tujuan utama film itu ditonton semakin banyak orang.

Ketika di festival saja (tayang) kan jadi eksklusif juga. Nah, festival ini memberikan kita tempat ekshibisi untuk bertemu dengan distributor.

Ibaratnya, film ini anak kita, mau kita sekolahin. Festival film ini entrance test-nya. Dari festival inilah akhirnya kita bisa memasukkan sekolahnya dia, menemukan karir, filmnya punya hidupnya sendiri.


Karina: Ini real story ya. Bulan lalu aku ke Bulgaria, aku hire fotografer lokal, dia kebetulan mahasiswa umur 20 tahun. Dia lagi kuliah di London tapi dia orang Bulgaria. Dia fotoin aku dan delegasi Indonesia yang datang, kita bersama Pusbang waktu itu, terus dia nonton film "Salawaku" bersama penonton umum.

Setelah dari situ dia pulang dan dia baru email aku, dia bersama teman-temannya yang nonton akan datang ke Indonesia, November. Untuk bikin skripsinya tentang cerita di Ambon karena dia terinspirasi 'Salawaku'. Dan dia enggak tahu di Indonesia segitu indahnya alamnya. Karena mungkin yang mereka tahu cuma Bali, tapi mereka enggak tahu ada yang lebih jauh dari itu.

Jadi kalau tadi Sunny menyampaikan dari sisi film market, ini dari (sisi) penonton umum pastinya untuk memperkenalkan Indonesia.


Keunikan "Mobil Bekas dan Kisah dalam Putaran" untuk penonton di luar Indonesia, khususnya di Jepang?

Sunny: Film ini benar-benar kolaborasi otak dan pikiran dari banyak orang. Ismael Basbeth itu mengumpulkan energi pikiran-pikiran itu dan diibaratkan sama dia, diatur, jadilah film ini. Ketika adegan segmen Karina, itu otaknya Karina, segmennya saya, itu otaknya saya yang ditonton nanti.

Demikian dengan aktor lainnya, demikian dengan musik yang ada, potongan gambar, kameramen... Itu semua benar-benar kayak Ismail menyerahkan diibaratkan ke DOP yang kayak ... 'Kamu maunya gambarnya gimana?, maunya gini? ya sudah oke.' Pokoknya Ismail mengumpulkan semua...that little things, little parts of the film, akhirnya dijadikan satu dan jadilah sebuah film, visinya Ismail Basbeth. Dia captain of the ship kita, krunya kita semua.



Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2017