Jakarta (ANTARA News) - Sektor industri konsisten membawa efek berganda bagi perekonomian nasional, demikian disampaikan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto.
“Oleh karena itu, kami terus fokus menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi para investor di dalam negeri,†kata Airlangga melalui keterangan resmi diterima di Jakarta, Minggu.
Berdasarkan laporan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, realisasi penerimaan pajak dari sektor industri hingga triwulan III tahun 2017 mencapai Rp224,95 triliun atau tumbuh 16,63 persen dibanding periode yang sama pada tahun sebelumnya.
Capaian tersebut di atas dari sumbangan sektor perdagangan sebesar Rp134,74 triliun, keuangan (Rp104,92 triliun), konstruksi Rp35,40 triliun, informasi komunikasi (Rp32,19 triliun), pertambangan (Rp31,66 triliun), dan sektor lainnya (Rp156,19 triliun).
“Ini menunjukkan kinerja industri pengolahan nasional masih positif,†tegas Airlangga.
Para pelaku usaha pun diharapkan dapat memanfaatkan berbagai paket kebijakan ekonomi yang telah diterbitkan oleh pemerintah dan bertujuan untuk kemudahan dalam menjalankan bisnis di Tanah Air.
Airlangga juga menyatakan, pembangunan sektor industri bukanlah sesuatu yang dapat diselesaikan secara mandiri oleh satu atau dua lembaga, tetapi membutuhkan komitmen kuat dari seluruh pemangku kepentingan mulai hulu sampai hilir.
“Dari pembuat kebijakan hingga para pelaku industri itu sendiri,†imbuhnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, industri pengolahan non-migas memberikan kontribusi terbesar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional pada triwulan II tahun 2017 dengan mencapai 17,94 persen.
Sumbangan sektor lainnya, seperti pertanian, kehutanan, dan perikanan hanya sekitar 13,92 persen, konstruksi 10,11 persen, serta pertambangan dan penggalian 7,36 persen.
Merujuk data yang dirilis United Nations Statistics Division pada tahun 2016, Indonesia menempati peringkat keempat dunia dari 15 negara yang industri manufakturnya memberikan kontribusi signifikan terhadap PDB.
Indonesia mampu menyumbangkan hingga mencapai 22 persen setelah Korea Selatan (29 persen), Tiongkok (27 persen), dan Jerman (23 persen).
Dari 15 negara yang disurvei tersebut, sumbangsih Inggris 10 persen, sedangkan Jepang dan Meksiko di bawah Indonesia dengan capaian kontribusinya sekitar 19 persen.
“Paradigma industri manufaktur global saat ini memandang proses produksi sebagai satu kesatuan antara proses pra produksi, produksi dan pasca produksi. Untuk itu, kita sudah tidak bisa lagi melihat produksi hanya di pabrik saja,†paparnya.
Sementara itu, selama 10 tahun terakhir, penerimaan negara dari cukai semakin meningkat.
Data BPS memperlihatkan tren positif ini sejak 2007 dengan total penerimaan dari cukai sebesar Rp44,68 triliun dan terus bertambah hingga Rp145,53 triliun pada 2016.
Sektor industri rokok menjadi salah satu sumber utama pemasukan kas negara melalui cukai yang setiap tahun mencapai triliunan rupiah.
Rata-rata proporsi penerimaan cukai tembakau terhadap cukai negara mencapai 95 persen. Pada 2007, penerimaan negara dari cukai tembakau sebesar Rp43,54 triliun atau setara 97,45 persen terhadap total penerimaan cukai.
Pada 2016, penerimaan negara dari cukai tembakau sebesar Rp137,94 triliun. Nilai ini setara 96,11 persen dari total penerimaan cukai dan 8,87 persen dari penerimaan negara.
Kementerian Perindustrian juga terus mendorong industri manufaktur agar tidak hanya membidik pasar domestik, tetapi juga harus menangkap peluang pangsa di luar negeri.
“Kami berharap, daya beli masyarakat semakin meningkat. Pasalnya, volume industri saat ini terbantu dengan pasar ekspor,†tutur Airlangga.
Pada semester I tahun 2017, ekspor industri pengolahan non-migas mencapai 59,78 miliar dollar AS atau naik 10,05 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2016 sebesar 54,32 miliar dollar AS.
Ekspor industri pengolahan non-migas ini memberikan kontribusi sebesar 74,76 persen dari total ekspor nasional pada
Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2017