Tokyo (ANTARA News) - Film "Life and Death on the Shore" tak banyak dihiasi musik latar, tapi karya sutradara Michio Koshikawa ini kaya dengan suara alam.


Angin, ombak, cuitan burung hingga nyanyian yang disenandungkan anak-anak di pulau Kakeromajima, bagian dari kepulauan Amami di barat daya Jepang menjadi bagian penting.


Bunyi-bunyian yang bisa ditemui di sebuah pulau terpencil itu menghiasi adegan-adegan panjang tanpa dialog yang banyak ditemui di film ini.


"Life and Death on the Shore" diadaptasi dari otobiografi Miho dan Toshio Shimao, dua orang yang bertemu di pulau Amami saat Perang Dunia II dan akhirnya menikah.


Kisah cinta yang terancam hancur gara-gara perang ini dirasakan oleh Toe (Hikari Mitsushima) dan Kapten Saku (Kento Nagayama). Toe yang seorang guru sekolah dasar pertama kali bertemu Saku di tengah hutan dalam perjalanan pulang bersama murid-muridnya.


Pertemuan pertama tidak menyisakan kesan baik di mata para murid karena Saku tanpa basa-basi melarang mereka melewati jalan itu lagi. Akibatnya, bocah-bocah itu harus melalui jalan yang lebih jauh dan terpaksa terlambat tiba di sekolah.


"Aku sebal pada Kapten," salah seorang murid mengadu pada Toe.


Kesan buruk langsung luntur setelah Saku mulai berteman dengan anak-anak, juga guru mereka. Saku yang sebenarnya tidak senang jadi pemimpin unit di mana anggotanya harus siap mati saat ada perintah mulai menjalin kasih dengan Toe.


Diam-diam mereka sering berjumpa di sebuah bangunan kosong tempat membuat garam di pinggir pantai. Kebahagiaan Toe dan Saku terancam ketika pesawat-pesawat musuh makin sering terbang mendesing, pertanda maut mulai mendekati sang kekasih.


Dalam sesi tanya jawab usai pemutaran, sutradara Koshikawa mengungkapkan ia sampai harus mengulang adegan perpisahan Toe dan Saku hingga tujuh kali untuk memastikan semua sempurna. Tak hanya akting, tapi juga bagaimana situasi ombak di laut yang jadi latar belakang kedua orang itu.


"Suara di sekitar kita, suara alam, suara laut, penting sekali di sini... Adegan saat akan berpisah sampai diambil tujuh kali karena ada banyak kondisi yang harus benar," kata Michio Koshikawa di Festival Film Internasional Tokyo (TIFF) 2017, Jumat (27/10) waktu setempat.


Aktris Hikari Mitsushima dipuji karena berhasil menghidupkan karakter Toe yang ekspresinya bisa dirasakan oleh penonton hanya lewat perubahan-perubahan yang hampir tak kentara.


Menurut sutradara, Mitsushima benar-benar tidak terlihat seperti sedang berakting, tapi memang benar-benar tenggelam dalam karakter Toe.


"Dia seperti menyatu dengan pulau itu, dia seperti lebih dari manusia. Toe menjadi lebih dari seorang Toe, dia juga Hikari Mitsushima, dia juga orang-orang lokal di sana, dia seperti menjadi satu dengan lingkungan," tutur Koshikawa.


"Saya mulai akting di film sejak berusia 20 tahun, tapi ketika mulai menginjak usia akhir 20-an, saya mulai berpikir saya harus berkarya di tempat di mana saya bisa mengekspresikan diri sendiri secara total," kata Mitsushima mengenai proyek ini.


Demi karakter Toe, Mitsushima belajar bicara dengan dialek di pulau tersebut serta menguasai cengkok saat menyanyikan lagu-lagu tradisional yang sering ia lantunkan di dalam film.


"Saya belajar dari seorang nenek di pulau itu, dia adalah penyanyi di sana, usianya hampir 80 tahun," ungkap Mitsushima pada ANTARA News lewat penerjemah.

Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017