PBB (ANTARA News) - Dewan Keamanan PBB sedang menimbang sebuah draft resolusi berisi tekanan kepada Myanmar untuk mengakhiri siklus kekerasan yang telah membuat ratusan ribu warga Rohingya mengungsi.
Rancangan resolusi yang diajukan Inggris dan Prancis itu akan menyeru pemerintah Myanmar untuk segera menghentikan operasi militer dan memastikan para pengungsi Rohingya yang kini menyesaki kamp-kamp di Bangladesh bisa kembali dengan selamat ke negerinya.
Rancangan resolusi setebal enam halaman ini tidak mencantumkan sanksi, namun berisi tuntutan-tuntutan nyata kepada Myanmar. Namun para diplomat menyatakan China akan menentang keras resolusi ini.
"China tidak terlibat," kata seorang diplomat pada Dewan Keamanan PBB meminta namanya tidak disebutkan. "Mereka ingin kita semua bungkam dan tidak melakukan apa-apa menyangkut masalah itu."
China yang merupakan pendukung setiap bekas junta militer Myanmar bersikeras menggunakan saluran pribadinya untuk menyampaikan pesan bahwa kekerasan harus dihentikan dan krisis pengungsi harus diatasi.
Rancangan resolusi ini mengutuk kekerasan di Rakhine dan serangan kaum militan Rohingya, selain mengutarakan keprihatinan mendalam bahwa pasukan keamanan Myanmar dan warga Myanmar yang main hakim sendiri bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia dan kekejaman di sana.
Draft ini juga mendesak Myanmar membuka akses untuk para pekerja kemanusiaan untuk masuk Rakhine dan juga berisi desakan agar para penyelidik HAM PBB diberi akses ke Rakhine untuk melaporkan tuduhan kekejaman dan menyerukan penunjukkan penasihat khusus PBB untuk Myanmar.
Draft ini juga berisi desakan kepada Myanmar untuk menerapkan rekomendasi sebuah komisi yang diketuai mantan sekretaris jenderal PBB Kofi Annan yang salah satunya merekomendasikan agar Rohingya mendapatkan hak kewarganegaraan.
1,1 juta penduduk Rohingya selama berpuluh-puluh tahun mendapatkan perlakuan diskriminatif dari Myanmar dan sejak 1982 ditolak status kewarganegaraannya sehingga membuat mereka menjadi manusia tanpa negara.
Di depan komisi HAM pada Majelis Umum PBB, utusan khusus PBB Yanghee Lee menyatakan PBB harus mengadopsi "resolusi yang kuat" guna menghindari ancaman potensial di kawasan ini.
"Krisis di negara bagian Rakhine tidak hanya terjadi selama berpuluh-puluh tahun, terapi juga telah meluber dan terus meluber jauh di luar perbatasan Myanmar," kata Lee. "Sudah lama sekali, masalah ini bukan semata masalah dalam negeri," sambung dia seperti dikutip AFP.
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2017